Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama
mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi
peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal,
pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. (Undang-undang Republik Indonesia,
No. 14 tahun 2005)
Dalam
Undang Undang Republik Indonesia, guru memiliki tugasyang sangat mulia. Sejarah telah membuktikan
bahwa guru telah memegang peranan besar untuk membangun sebuah bangsa, baik di
level nasional maupun di tataran internasional. Di tengah badai tekanan
penjajahan, justru hadirguru yang bisa
melahirkan tokoh sekaliber Soekarno, Sutan Syahrir, Muhammad Hatta, Buya Hamka,
Muhammad Natsir, dan masih banyak lagi. Dalam sebuah ungkapan, sesungguhnya
guru besar dilahirkan oleh guru besar yang berhati mulia.
Begitu
banyaknya tokoh-tokoh hebat berhati mulia, negara tetangga, Malaysia, harus
banyak belajar dari negera Indonesia. Berapa banyak pelajar dan mahasiswa
dikirim untuk belajar ke Indonesia. Begitu juga gurunya banyak dikirim untuk
menimba ilmu di negeri tercinta ini. Kemauan untuk memperbaiki bangsa melalui
pendidikan dilakukan dengan serius.Hal
itu tampak dari keseriusan mengirimkan pelajar, mahasiswa, dan gurunya ke
Indonesia dan di beberapa Negara lainnya yang dianggap sudah maju.
Lalu Apa
yang terjadi sekarang. Ada posisi terbalik dengan kondisi yang pernah terjadi.
Justru Mahasiswa dan pelajar Indonesia lebih bangga ketika bisa belajar di
Malaysia. Mereka mengganggap pendidikan di Negara tetangga itu lebih bagus.
Jujur, banyak hal yang perlu dipelajari dengan kemajuan di negara tetangga ini.
Apa
sebenarnya yang terjadi dalam dunia pendidikan, terutama peran guru saat ini?
Badai persoalan kini telah menjadi potret buram. Maraknya kasus amoral,
penggunaan narkoba, serta tawuran antar pelajar menjadi indikator yang perlu
diwaspadai. Lebih-lebih kasus korupsi yang merambah di semua lini birokrasi,
Sampai-sampai ada seorang professor yang membandingkan dulu dengan sekarang.
Dulu ada perencanaan pembangunan di sana sini, sekarangpemerataan korupsi di semua lini. menjadi
bukti yang tak bisa dipungkiri. Seolah-olah bangsa ini mulai kehilangan jati
diri di tengah pergaulan internasional. Lebih dihawatirkan jika badai persoalan
tidak diselesaikan, negeri ini akan menjadi kawasan “kumuh” di mata dunia.
Kehawatiran
akan memudarnya jati diri bangsa, kini telah terjawab melalui pendidikan
karakter. Lagi-lagi yang menjadi persoalan bukan pada tataran konsep, tetapi
dalam pelaksanaan terjadi alur yang tidak sesuai. Berapa banyak konsep yang
ditawarkan oleh para pakar, tetapi di tengah perjalanan harus berhenti tanpa
hasil yang berarti. Sehingga memunculkan polemik bahwa perubahan yang ada hanya
basa-basi belaka. Kegagalan demi kegagalan memperkuat rasa apatis setiap kali
akan dilakukan perubahan.
Sebuah
tantangan bagi guru di tengah badai persoalan yang tak kunjung berhenti. Jika
pendidikan karakter dianggap baik dan perlu dijalankan sebagai solusi, maka
perlu sinergitas bagi semua elemen yang ada, khususnya pemangku kepentingan.
Ketika konsep ini hanya basa-basi, tidak sepenuh hati untuk memperbaiki kondisi
yang terjadi di negeri ini, maka akan terjadi salah arah, dan tidak akan
memperoleh hasil yang lebih bermakna. Sama saja dengan konsep-konsep
sebelumnya.
Sejarah
juga membuktikan bahwa guru menjadi penentu maju dan mundurnya suatu bangsa.
Masih ingat ketika Hirosima dan Nagasaki dibom atom oleh tentara Amerika
Serikat dan sekutunya, maka yang ditanyakan oleh Kaisar Hirohito adalah guru.
Berapa guru yang tewas dan bukan berapa tentara serta politisi yang tewas.
Kaisar Hirohito sadar betul akan peran seorang guru dalam memajukan sebuah
bangsa. Kehilangan banyak guru lebih merugikan bangsa dibanding dengan
kehilangan banyak tentara dan politisi.
Menjadi
guru sejatinya menjalankan peran yang sangat mulia. Di tangan seorang gurulah
lahir generasi penerus bangsa. Di tangannya pula muncul para tokoh atau kaum
intelektual yang akan menjadi agen perubahan. Ironis jika guru semakin banyak,
badai persoalan tak kunjung selesai, menumpuk bagai sampah yang dapat
menyebabkan negeri ini menjadi kawasan “kumuh” yang tiada berujung.
Dari
jumlah guru yang ada, bangsa kita tidak perlu hawatir terhadap kemajuan negeri
ini. Yang menjadi persoalan adalah sosok guru yang berjiwa guru dengan
melaksanakan fungsi strategis dalam menjalankan peran suci. Jangan-jangan sosok
guru jutaan, tapi fungsi dan peran suci telah ternodai.Guru seharusnya menjadi nahkoda kapal di
tengah badai. Jangan sampai guru ikut digulung badai persoalan sehingga tidak
bisa lagi memberikan solusi malah menjadi bagian dari masalah yang harus
diselesaikan. Jika masih ada guru yang salah dalam menentukan tujuan, sudah
saatnya untuk kembali ke khittah,dengan
menjalankan peran suci sebagai khalifah di muka bumi.
Tidak
salah jika seorang pakar pendidikan dari india, Dr. Khursyid Ahmad, MA mengatakan, “Melalui pendidikan, manusia ‘ditanam’ dan dengan pendidikan masa depan
bangsa dibangun.” Ini artinya, masyarakat sangat berharap perubahan yang
lebih baik melalui pendidikan dan itu semua peran guru yang sangat ditunggu.
Wahai
guru, negara ini sangat berharap perubahan yang lebih baik. Di tanganmulah masa
depan dan kejayaan negara ini. Jadilah model yang bisa diteladani, digugu lan ditiru. Semoga kesabaranmu,
keyakinanmu, dan kesungguhanmu dalam menjalankan amanah mampu mengangkat citra
masa depan bangsa. Selamat hari guru semoga sukses sepanjang masa. Amin.
Televisi bukan lagi menjadi barang mahal. Televisi kini menjadi tontonan yang murah meriah di setiap rumah. Mulai dari rumah gedung bertingkat hingga di rumah kontrakan, semua sudah ada televisi. Karena mudah didapat dan banyak memberikan hiburan, sampai-sampai lupa dampak yang ditimbulkan dari televisi.
Saya teringat tulisan Gus Lutfi (Sidi Miftahul Lutfi Muhammad) tentang 10 orang yang tidak bahagia. Justru yang membuat saya sangat tertarik ketika beliau menempatkan urutan pertama orang yang tidak bahagia adalah yang kecanduan nonton televisi. Sejak saat itulah saya melakukan sebuah observasi terkait dengan pernyataan beliau, baik secara empiris maupun secara literer.
Banyak dampak negatif dari menonton televisi dibandingkan dengan pengaruh positif. Televisi tidak lagi sekedar tontonan, tetapi justru membawa misi yang jauh dari nilai-nilai edukasi. Berikut ini ada dampak negatif dari menonton televisi.
Pertama, isi tayangan televisi telah banyak mempengaruhi perilaku masyarakat, khususnya anak-anak remaja. Padahal usia remaja adalah usia mencari jati diri, mencari model yang harus diikuti. Sementara hampir setiap hari yang mendominasi acara televisi adalah sinetron, musik, dan potret buram negeri ini melalui liputan berita. Hampir bisa dipastikan bahwa anak-anak yang tidak menemukan model di rumah dan di sekolah, maka televisi yang akan menjadi pilihan model pola hidup.
Anak-anak kini lebih cepat dewasa dari usia yang sesungguhnya. Lagu-lagu dewasa telah merampas anak-anak untuk segera bertingkah dewasa. Sehingga tidak sedikit anak-anak yang tidak bisa menikmati masa anak-anak dengan sesungguhnya. Belum lagi sinetron, yang menyuguhkan konflik percintaan, kekerasan, mistik, dan permusuhan anak dengan orang tua.
Begitu juga anak remaja, banyak meniru adegan-adegan yang tidak pantas untuk dilakukan. Namun karena hampir setiap hari menjadi tontonan, lama-lamamenjadi tuntutan. Perilaku yang mestinya dianggap tabu kini menjadi biasa. Bahkan tidak sedikit yang kebablasan dan berani menghadapi bahaya.
Dalam sebuah hasil survey komnas perlindungan anak. terkait dengan kasus amoral, khususnya di kota-kota besar dapat diperoleh hasil bahwa anak-anak yang pernah melakukan hubungan badan sebelum nikah mencapai sekitar 62%. Sementara mereka yang pernah berciuman lawan jenis mencapai 93%. Adapun yang pernah nonton film porno mencapai 97%, hampir sempurnah. Ini menjadi keprihatinan bersama bangsa Indonesia. Semua ini tidak bisa lepas dari tontonan yang kini jauh dari tuntunan.
Anak-anak juga sekarang belajar banyak dari tayangan televisi tentang demonstrasi anarkhi, tawuran, dan berita kekerasan lainnya. Tidak kalah serunya adalah dagelan politik yang membuat anak-anak kehilangan figur panutan. Mereka yang mestinya menjadi contoh justru banyak yang dicemooh karena perilaku yang tak senonoh. Itu semua tersaji secara sitematis di televisi. Betapa ngerinya jika hal ini tetap dianggap biasa.
Kedua, tentang kedisiplinan anak. Acara televisi membuat anak-anak tidak disiplin. Dengan tayangan acara yang menarik, anak-anak bisa kehilangan waktu sholat berjamaah, waktu belajar, bahkan bangun pagi karena tidur kemalaman. Dampak yang dialami, anak-anak prestasinya terus menurun.
Lebih berbahaya ketika anak usia balita gandrung nonton televisi, maka waktunya akan banyak habis di depan televisi. Anak-anak balita belum bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Justru mereka hanya memilih mana yang menyenangkan dan mana yang tidak menyenangkan. Ketika televisi dianggap menyenangkan, maka itu akan menjadi pilihan dibanding dengan aktivitas lainnya.
Tanpa disadari, kadang orang tua lebih nyaman putra-putrinya berjam-jam berada di depan televisi. Selain tidak membuat gaduh di rumah, anak-anak mudah dikontrol keberadaannya. Namun jika dibiarkan, maka anak-anak akan banyak membuang waktu sia-sia. Bahkan anak yang lebih banyak di depan televisi, komunikasinya akan terganggu. Hidupnya pun tidak produktif dan hanya menjadi penonton abadi.
Ketiga, televisi telah menghancurkan budaya membaca. Ketika nonton televisi menjadi budaya sehari-hari, maka akan mengganti budaya membaca. Lebih parah lagi ketika anak balita terbiasa nonton televisi, maka jangan diharapkan dia akan senang membaca. Anak akan lebih memilih nonton televisi dibanding membaca.
Hampir semua orang sepakat bahwa nonton televisi lebih nikmat daripada membaca. Nonton televisi tidak perlu susah-susah sudah mendapatkan hiburan. Apa itu yang sifatnya dagelan, informasi berita, sinetron. Bahkan tidak sedikit yang alam bawah sadarnya mengikuti alur cerita hingga menitikkan air mata. Sementara membaca harus mencari sendiri informasi yang ada di dalam bacaan itu. Namun demikian, membaca dapat menyambung dedrit otak sehingga meningkatkan kecerdasan. Sementar nonton televisi bersifat pasif dan tidak produktif.
Mengingat begitu besar dampak negatif yang ditimbulkan oleh televisi, maka kita orang tua perlu hati-hati. Sulit diperoleh tayangan edukasi saat ini. Justru yang banyak adalah pengaruh negatif. Persoalan ini tidak bisa dianggap sepele. Saat usia 0 sampai 8 (usia tanam) mungkin belum terasa. Nanti mulai terasa ketika memasuki usia 9 sampai 15 (usia model). Ledakan yang lebih dahsyat ketika anak sudah memasuki usia 16 sampai 24 (usia social). Ketika ledakan itu betul-betul terjadi, maka sulit dikendalikan lagi.
”Dan ingatlah ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari
sulbi mereka, dan Allah mengambil persaksian terhadap jiwa mereka (seraya
berfirman): ”Bukankan Aku ini Tuhanmu” Mereka menjawab, ”Betul, Engkaulah Tuhan
kami, kami menjadi saksi..” (Q.S. Al-A’rof: 172)
Setiap anak terlahir dalam keadaan suci,
selalu meng-ilahkan Allah. Ini artinya, tidak ada anak yang lahir dengan
membawa rangkaian dosa dari orang tua. Namun seiring dengan perjalanan hidup,
mereka memiliki tingkah laku yang berbeda. Perubahan tingkah laku ini justru
dampak dari pengaruh lingkungan sekitar, baik lingkungan keluarga, pendidikan,
maupun masyarakat tempat tinggal anak. Rasulullah bersabda, ”Setiap
manusia lahir dalam keadaan suci, maka orang tualah yang menjadikan Yahudi,
Majusi, dan Nasrani.”
Sebagai rujukan yang selalu terbukti
kebenarannya dan tidak bisa diragukan, Al-Qur’an memberikan gambaran tentang
tingkah laku anak sebagai hasil dari proses perkembangan anak. Ada empat model
tingkah laku anak menurut al-Qur’an.
a.Anak sebagai penyejuk mata
Semua orang
tua berharap dikaruniai anak yang bisa menyejukkan mata hati. Anak yang selalu
memegang tali kebenaran dalam setiap langkah. Anak penyejuk mata hati menjadi
investasi bagi orang tua. Baik di dunia maupun di akhirat senantiasa mengawal
orang tua dengan doa-doa dan perilaku mulia.
Meskipun
kehidupan di dunia putus, doa anak penyejuk mata tetap mengalir. Sebagaimana
sabda Rasulullah Muhammad saw.
“Ketika anak Adam meninggal, maka terputuslah semua
amal perbuatan, kecuali tiga hal. Sodaqoh jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak soleh yang senantiasa mendoakan
orang tua”.
Sungguh
beruntung jika kita semua memiliki anak penyejuk mata hati. Untuk itulah
setiapsaat orang tua selalu berharap
lewat doa sepanjang hari.
“Ya Tuhan kami, anugerahkanlah
kepada kami istri-istri dan anak-anak sebagai penyejuk mata/ penyenang hati dan
jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertaqwa. (Q.S. Al-Furqon:74)
b.Anak sebagai hiasan
Anak yang menjadi hiasan bagi orang tua adalah anak yang sekedar memberikan
kebahagiaan di dunia. Anak seperti ini hanya sebagai kebanggaan untuk jangka
pendek, yakni berlaku di dunia. Tak ubahnya seseorang memiliki kekayaan berupa
harta benda, seperti mobil, rumah, semua itu tidak sampai dibawa mati.
Ketika kehidupan dunia putus, maka
putuslah semua urusan dengan anak. Anak sebagai hiasan tak mampu memberikan
kontribusi kepada orang tua saat kematian telah tiba. Orang tua hanya membawa
amalan yang dilakukan sendiri. Sementara anak, tak mampu berperan dengan
doa-doanya dan amal perbuatannya.
Sungguh merugilah kondisi orang tua yang
hanya mempunyai anak sebagai hiasan. Sebagai hiasan anak hanya kebanggaan,
sebagai benda yang hanya untuk dipamerkan. Kelebihan-kelebihan anak bukan
nilai-nilai spiritual. Kelebihan-kelebihan anak masih bersifat duniawi. Anak-anak
tidak mengerti cara berbakti. Anak-anak tidak bisa berdoa dan melanjutkan
amalan baik yang sudah dilakukan oleh orang tua.betapa ruginya jika ini yang
terjadi.
“Harta dan anak-anakmu adalah hiasan
kehidupan dunia.”(Q.S. Al-Kahfi:46)
c.Anak sebagai fitnah
Anak-anak terkadang tumbuh tidak sesuai dengan harapan
orang tua. Malah tidak sedikit anak-anak justru menjadi ujian bagi orang tua.
Mungkin di rumah tidak ada masalah dengan orang tua. Tetapi mereka menjadi fitnah
dari tingkah pola yang dilakukan di luar rumah. Agenda permasalahan muncul dari
sikap dan tingkah laku di luar rumah.
Di rumah, tutur katanya sopan dan tidak
menampakkan perilaku yang buruk. Namun ketika di luar pengaruh teman,
membuatnya ikut terbawa arus pergaulan yang salah. Ketika sudah berhubungan
dengan pihak yang berwajib, maka orang tualah yang terkena dampak negatif dari
perilaku anak.
Anak-anak saat ini sulit membedakan baik
dan buruk. Justru yang sering menjadi pilihan bagi anak adalah senang dan tidak
senang. Jika modalitas spiritual kurang, maka pilihan anak-anak adalah yang
menyenangkan dengan mengabaikan nilai-nilai kebenaran. Persoalan inilah yang
kini menjadi masalah besar. Perilaku anak tidak lagi mempertimbangkan
kebenaran. Banyak dijumpai anak-anak salah arah yang jauh dari harapan orang
tua dan harapan agama.
“Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu
hanyalah fitnah bagimu, di sisi Allahlah pahala yang besar.”(Q.S.
At-Taghobun:15)
d.Anak
sebagai musuh
Tidak ada satupun orang tua yang ingin melahirkan anak
durhaka. Anak yang justru akan menjadi musuh bagi orangtuanya. Jangan mengira
anak yang dilahirkan selalu bisa menjaga orang tua. Itulah sebuah harapan.Namun, perkembangan zaman yang miskin
nilai-nilai positif, kerap menyeret anak-anak dalam kedurhakaan.Berperilaku sadis dan bengis terhadap orang
tua. Ketika keinginannya tidak terpenuhi, justru melampiaskan kepada amarah
kepada orang tua.
Tidak sedikit anak yang menyeret orang
tuanya ke pengadilah karena masalah harta. Ada juga anak yang tega-teganya
menodai kehormatan orang tua yang telah melahirkannya. Bahkan ada anak yang
tega membunuh orang tuanya sendiri. Naudzubillhi
min dzalik.
“Sesungguhnya
di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka
berhati-hatilah kamu terhadap mereka.”(Q.S. At-Taghobun: 14)
Pola pengasuhan dan pendidikan
di sekolah sangat memberikan corak dan warna bagi anak-anak. Untuk itu berikan
yang terbaik bagi anak-anak. Kelak anak-anak akan memberikan yang terbaik bagi
orang tua. Yakin dan selalu minta perlindungan kepada Allah. Insya-Allah
anak-anak kita akan diselamatkan dari jurang kehancuran.
Dan hendaklah takut kepada Allah, andaikata sesudah wafatnya meninggalkan generasi yang lemah, yang mereka khawatirkan nasib mereka akan terlunta-lunta. Karena itu hendaklah mereka taqwa kepada Allah dan mengucapkan (berkomunikasi) dengan kata-kata yang lemah lembut / kata-kata yang baik. (Q.S. An-Nisa’ : 9)
Remaja hari ini adalah pemimpin untuk masa yang akan datang. Ungkapan ini menempatkan sosok remaja untuk mendapatkan perhatian yang serius. Maju dan tidaknya masa depan bangsa akan ditentukan oleh kondisi yang terjadi saat ini. Ada dua kata kunci yang disampaikan oleh Allah dalam membangun generasi yang kuat, yaitu taqwa kepada Allah dan mengucapkan kata-kata yang baik. Ketika dua persoalan ini dibangun sejak kecil, maka kelak akan tumbuh pemimpin-pemimpin yang kuat. Sebaliknya, ketika dua persoalan ini diabaikan, maka yang lahir adalah pemimpin-pemimpin yang lemah. Pemimpin yang bermental korup, pemimpin yang menjilat sana sini untuk melanggengkan kekuasaannya, pemimpin yang hanya mementingkan kekuasaan, dan pemimpin yang suka dengan sumpah palsu atau tidak mau bersaksi walau tahu dengan penyakit lupa dan tidak tahu. Inilah gejala yang mulai berkembang saat ini. Persoalan dunia, kesibukan mencari nafkah, serta berbagai kepentingan orang tua, kadang lupa bagaimana menyiapkan generasi yang akan datang, pemimpin masa depan. Di rumah, kadang tidak ada waktu untuk bercakap-cakap dengan anak. Kalaulah ada, kualitas komunikasi tak diharapkan oleh anak. Kadang karena kesibukan orang tua, ketika ada anak ingin bercerita, diabaikan tanpa diperhatikan. Ini yang membuat anak tidak ingin bercerita atau curhat kepada orang tua. Bahkan tidak jarang ketika ada keluhan dari anak, respon orang tua marah dan menyalahkan anak. Ini pula yang menyebabkan anak jauh dari orang tua. Ada satu hal yang sangat memprihatinkan dari persoalan komunikasi anak dengan orang tua. Dari data penelitian yang pernah saya lakukan, Ketika anak-anak menghadapi permasalahan dalam keseharian, justru mereka lebih senang curhat dengan teman, dengan facebook, atau benda-benda lain seperti gitar, bila dibanding curhat kepada orang tua. Alasannya cukup klasik. Orang tua sangat sibuk dengan urusannya sendiri. Orang tua tidak ada waktu, bahkan ada yang mengatakan orang tua marah melulu ketika anaknya ada masalah. Padahal si anak membutuhkan solusi bijak dengan kata yang bijak dari orang tua ketika menghadapi masalah. Ketika anak-anak sudah menganggap orang tua tidak bisa diajak berbicara, maka harus berhati-hati, Di saat komunikasi anak dengan orang tua mengalami jalan buntu, maka yang terjadi, anak menyalurkan komunikasi yang tidak pada tempatnya. Di kota-kota besar ada tempat yang sangat berbahaya. Ada diskotik, plaza, kafe, tempat karaoke, dan lain-lain. Tempat itu bukan untuk menenangkan hati anak yang gundah, tetapi banyak tawaran barang maksiyat yang akan menyesatkan anak-anak kita. Kata-kata yang bijak akan selalu meneguhkan hati. Kata-kata yang bijak akan selalu menguatkan langkah. Kata-kata yang bijak selalu meringankan anak saat masalah mulai menghampiri. Anak-anak kita butuh motivasi, butuh dorongan moral dari orang tua yang bijak. Kalau tidak di lingkungan rumah dan di sekolah, di mana lagi untuk melatih, mengajari, dan menguatkan anak-anak yang kelak akan menjadi pemimpin. Di TV tidak ada jaminan bagi anak-anak untuk bisa meneguhkan hatinya. Semua agenda telah dibalut dengan kepentingan. Ustad yang tampil sosoknya telah menjelma menjadi artis. Asal enak ditonton, kini tuntunan dikemas dengan dagelan. Sementara artis berani melakukan apa saja agar laris manis. Tentunya tidak layak untuk menjadi tontonan bagi anak-anak. Tapi nyatanya, tontonan itu kini mulai dijadikan tuntunan. Begitu juga politisi, banyak mengobral kata-kata yang tak berarti. Kebohongan tak lagi menjadi barang tabu. Justru kadang merasa bangga ketika kebohongan yang jelas-jelas nyata itu lepas dari jerat hukum. Kini kata-kata lupa, tidak tahu, menjadi alat ampuh untuk menutupi kebusukan itu. Sungguh ini menjadi pemandangan yang tak menguntungkan bagi anak-anak yang kelak menjadi pemimpn masa depan. Menjadi tugas orang tua untuk bisa menyiapkan generasi yang tangguh. Generasi yang senantiasa menjaga ucapan-ucapan yang baik. Ucapan yang mencerminkan rasa takut kepada Allah. Itulah kata-kata yang jujur, kata-kata yang berjiwa tauhid. Kata-kata yang selalu mendapatan keselamatan dan kebahagiaan. Marilah kita selamatkan anak-anak dengan kata yang meneguhkan, kata yang bijak. Ucapan yang baik dan kata yang bijak adalah penyelamat. Sebaliknya, kebohongan dan kata-kata busuk adalah kezaliman. Semua akan berbalas dan tidak ada satupun yang bisa disembunyikan dari pantauan Sang Pencipta. Allah mengingatkan di dalam surat Ibrahim ayat 27. ”Allah meneguhkan pendirian orang beriman dengan ”ucapan yang baik/ucapan yang meneguhkan” itu, baik selama ia hidup di dunia, maupun di akhirat nanti, dan membiarkan sesat orang yang zalim. Dan Allah melakukan apa saja yang Dia kehendaki.
Anak adalah amanah yang dititipkan oleh Allah kepada orang tua. Sebagai amanah, maka orang tua bertanggung jawab mengasuh, mendidik, dan membekali anak agar kelak sesuai dengan harapan Allah, yaitu senantiasa beribadah kepada Allah. Anak juga sebagai anugerah yang besar dari Allah. Tidak semua manusia mendapat anugerah anak. Ini artinya, keberadaan anak dalam lingkungan keluarga menjadi lebih indah dan lebih bermakna. Namun demikian, tidak sedikit anak yang justru menambah agenda permasalahan bagi orang tua, bahkan tidak sedikit anak-anak yang menjadi musuh bagi orang tua. Setiap orang tua akan merasa bangga ketika melihat anaknya cerdas. Setiap kenaikan kelas selalu menjadi yang terbaik dan setiap kali mengikuti lomba selalu menjadi yang terbaik dan bisa menjadi juara. Orang tua juga pasti akan selalu berbahagia ketika anak yang dilahirkan tumbuh menjadi orang yang kaya, bisa membeli mobil, rumah mewah, dan punya jabatan tinggi. Kebanggaan dan kebahagiaan orang tua sangat beralasan karena memiliki anak yang sukses, cerdas, kaya, dan memiliki kedudukan di masyarakat. Kebanggaan dan kebahagiaan orang tua seperti ini masih semu. Kebanggaan dan kebahagiaan ini tak lebih dari sekedar bangga terhadap harta sebatas di dunia. Kebanggaan dan kebahagiaan ini sebatas duniawi. Ketika orang tua dipanggil oleh Allah, maka semua yang ada, kebanggan dan kebahagiaan yang telah dimiliki di dunia pasti sirna. Dalam hadits shahih Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Jika seorang manusia mati maka terputuslah (pahala) amalnya kecuali dari tiga perkara: sedekah yang terus mengalir (pahalanya karena diwakafkan), ilmu yang terus diambil manfaatnya (diamalkan sepeninggalnya), dan anak shaleh yang selalu mendoakannya.” Betapa bangga dan bahagia orang tua ketika mempunyai anak yang dapat menyejukkan mata hati. Ciri utama anak yang menjadi penyejuk mata adalah anak solih-solihah yang selalu mendoakan orang tua. Inilah kebanggaan dan kebahagiaan hakiki bagi orang tua. Anak penyejuk mata hati adalah investasi berharga bagi orang tua. Mereka tak pernah melupakan Allah dan tak pernah lupa untuk berdoa kepada orang tua. Di manapun dan kapan saja selalu bisa menjaga diri. Disaat orang tua masih ada maupun sudah tidak ada, doa-doa tulus menjadi kontribusi penting bagi orang tua. Rasulullah pernah bersabda,yang artinya “Sungguh seorang manusia akan ditinggikan derajatnya di surga (kelak), maka dia bertanya, ‘Bagaimana aku bisa mencapai semua ini? Maka dikatakan padanya: (Ini semua) disebabkan istigfar (permohonan ampun kepada Allah yang selalu diucapkan oleh) anakmu untukmu.” Sebagian ulama memberikan penjelsan tentang hadis ini. Mereka mengatakan bahwa seorang anak jika menempati kedudukan yang tinggi daripada orang tuanya di surga (nanti), maka dia akan meminta (berdoa) kepada Allah agar kedudukan orang tuanya ditinggikan (seperti kedudukannya), sehingga Allah pun meninggikan (kedudukan) orang tuanya. Anak sungguh menjadi harta yang tak ternilai jika bisa mejadi penyejuk mata . Apa artinya anak jika sekedar menjadi hiasan, menjadi kebanggaan di dunia yang tidak memberikan nilai positif bagi orang tua. Tapi sayang, saat ini banyak orang tua yang senang dan bangga jika anaknya cukup hanya sebagai hiasan. Bangga ketika anaknya kaya, bangga anaknya pandai, bangga anaknya memiliki kedudukan sehingga bisa dijadikan bahan cerita kepada orang lain. Banyak orang tua yang lupa menanamkan nilai –nilai karakter pada anak. Sehingga yang terjadi banyak anak yang pinter, kaya, dan punya kedudukan, akan tetapi tidak bisa berbakti kepada orang tua. Banyak anak tidak tahu cara bagaimana berbakti kepada orang tua, baik ketika orang tua dalam kondisi sehat, kondisi sakit, atau mungkin saat sudah dipanggil oleh Allah. Padahal, salah satu amal yang pernah putus yang dimiliki oleh orang tua adalah ketia mempunyai anak soleh yang senantiasa mendoakan orang tua.
Setiap anak terlahir dalam keadaan suci meskipun seiring perjalanan hidup, mereka memiliki tingkah laku yang berbeda. Sebagai rujukan yang bias dibuktikan kebenarannya, Al-Qur’an memberikan gambaran tentang tingkah laku anak sebagai hasil dari proses perkembangan anak. Ada empat model tingkah laku anak menurut al-Qur’an. a. Anak sebagai penyejuk mata Semua orang tua berharap dikaruniai anak yang bisa menyejukkan mata hati. Anak yang selalu memegang tali kebenaran dalam setiap langkah. Anak penyejuk mata hati menjadi investasi bagi orang tua. Baik di dunia maupun di akhirat senantiasa mengawal orang tua dengan doa-doa dan perilaku mulia. Meskipun kehidupan di dunia putus, doa anak penyejuk mata hati tetap mengalir. Sebagaimana sabda Rasulullah Muhammad saw. “Ketika anak Adam meninggal, maka terputuslah semua amal perbuatan, kecuali tiga hal. Sodaqoh jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak soleh yang senantiasa mendoakan orang tua”. Berapa beruntungnya jika kita semua memiliki anak penyejuk mata hati. Untuk itulah setiap saat orang tua selalu berharap lewat doa sepanjang hari. “Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri dan anak-anak sebagai penyejuk mata/ penyenang hati dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertaqwa. (Q.S. Al-Furqon:74) b. Anak sebagai hiasan Anak yang menjadi hiasan bagi orang tua adalah anak yang sekedar memberikan kebahagiaan di dunia. Anak seperti ini hanya sebagai kebanggaan untuk jangka pendek, yakni berlaku di dunia. Tak ubahnya seseorang memiliki kekayaan berupa harta benda, seperti mobil, rumah, semua itu tidak sampai dibawa mati. Ketika kehidupan dunia putus, maka putuslah semua urusan dengan anak. Anak sebagai hiasan tak mampu memberikan kontribusi kepada orang tua saat kematian telah tiba. Orang tua hanya membawa amalan yang dilakukan sendiri. Sementara anak, tak mampu berperan dengan doa-doanya dan amal peerbuatannya. Sungguh mrugilah kondisi orang tua seperti ini. “Harta dan anak-anakmu adalah hiasan kehidupan dunia.”(Q.S. Al-Kahfi:46) c. Anak sebagai fitnah Anak-anak terkadang tumbuh tidak sesuai dengan harapan orang tua. Malah tidak sedikit anak-anak justru menjadi ujian bagi orang tua. Mungkin di rumah tidak ada masalah dengan orang tua. Tetapi mereka menjadi fitnah dari tingkah pola yang dilakukan di luar rumah. Di rumah, tutur katanya sopan dan tidak menampakkan perilaku yang buruk. Namun ketika di luar pengaruh teman, membuatnya ikut terbawa arus pergaulan yang salah. Ketika sudah berhubungan dengan pihak yang berwajib, maka orang tualah yang terkena dampak negarif dari perilaku anak. “Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah fitnah bagimu, di sisi Allahlah pahala yang besar.”(Q.S. At-Taghobun:15) d. Anak sebagai musuh Tidak ada satupun orang tua yang ingin melahirkan anak durhaka. Anak yang justru akan menjadi musuh bagi orangtuanya. Jangan mengira anak yang dilahirkan selalu bisa menjaga orang tua. Itulah sebuah harapan. Namun, perkembangan zaman yang miskin nilai-nilai positif, kerap menyeret anak-anak dalam kedurhakaan. Berperilaku sadis dan bengis terhadap orang tua. Ketika keinginannya tidak terpenuhi, justru melampiaskan kepada orang tua. Tidak sedikit anak yang menyeret orang tuanya ke pengadilah karena masalah harta. Ada juga anak yang tega-teganya menodai kehormatan orang tua yang telah melahirkannya. Bahkan ada anak yang tega membunuh orang tuanya sendiri. Naudzubillhi min dzalik. “Sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka.”(Q.S. At-Taghobun: 14) Pola pengasuhan dan pendidikan di sekolah sangat memberikan corak dan warna bagi anak-anak. Untuk itu berikan yang terbaik bagi anak-anak. Kelak anak-anak akan memberikan yang terbaik bagi orang tua. Yakin dan selalu minta perlindungan kepada Allah. Insya-Allah anak-anak kita akan diselamatkan dari jurang kehancuran.
Drs. Najib Sulhan, M.A. lahir 28 September 1967 di Siraman-Dukun-Gresik-Jawa Timur. Pendidikan Dasar sampai dengan pendidikan menengah ditempuh di Pondok Pesantren Maskumambang Gresik tahun 1986. S1 diselesaikan tahun 1991 dalam bidang Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) di Universitas Muhammadiyah Surabaya. Tahun 2002 melanjutkan ke Pasca Sarjana dengan konsentrasi Psikologi Pendidikan Islam di Universitas Muhammadiyah Jogyakarta, lulus tahun 2004.
Karir mengajar dimulai tahun 1988 sampai 1992. Tahun 1992 sampai 2004 sebagai Kepala Sekolah di SD Muhammadiyah 8 Surabaya. Maret 2004-Juni 2005. Bulan Juli-September 2005 (3 bulan) menjadi Kepala SD Islam Al-Azhar Kelapa Gading Surabaya. Mulai Bulan Oktober 2005, diberi amanah menjadi Direktur Perguruan Islam Al-Azhar Kelapa Gading Surabaya sampai 2009. Awal tahun 2007 diberi amanah sebagai dosen di Universitas Muhammasiyah Surabaya.
Nama Istri : Ruchama, S.Pd
Anak : 1. Nabila Hana Humairo
2. Rozanah Hana Muthi’ah
3. Rizam Ali Azhar Rafsanjani
4.Nayla Hana Mutiara
Ibu : Maghfiroh
Ayah : Sulhan