Tuesday, October 28, 2008

Menggagas Sekolah Berbasis Karakter

Berbagai bentuk sekolah muncul dengan “Brand” yang bermacam-macam. Ada sekolah yang berbasis IT. Ada juga sekolah yang berbasis tauhid. Aja juga sekolahyang diberi nama sekolah “kreatif”, sekolah “terampil” Bahkan ada pula sekolah yang hanya mengandalkan hasil ujian nasional atau sering disebut dengan sekolah berbasis unas.
Dari model yang digagas itu sengaja setiap sekolah menjual nama “Brand image”. Hendak di bawa ke mana sekolah ini. Atau apa yang menjadi kekuatan atau kelebihan bagi sekolah ini. Sekolah yang berbasis IT tentunya lebih menonjolkan IT sebagai penguat sekolah. Semua informasi ke orang tua, bahkan pembelajaran, melalui pendekatan IT. Sementara sekolah yang berbasis tauhid, lebih banyak pada pendekatan spiritual.
Sejak digulirkannya Ujian Nasional untuk SMP dan SMA serta Ujian Akhir sekolah Berstandar Nasional (UASBN), banyak sekolah mendisain sekolah berbasis Ujian Nasional. Semua pendekatan pembelajaran mengarah pada hasil ujian akhir. Ranah kognitif menjadi vokus utama. Sementara untuk afektif dan psikomotor terabaikan. Hal ini telah memunculkan berbagai polimek dalam pendidikan.
Lebih tragis lagi, tidak jarang sekolah keluar dari koridor yang sesungguhnya dalam mendidik anak. Berbagai cara dilakukan agar hasil unasnya bisa tercapai maksimal, 100% dengan hasil terbaik. Praktik kecurangan dilakukan untuk membangun kepercayaan ke masyarakat bahwa sekolah ini menghasilkan lulusan yang terbaik. Sampai-sampai muncul berbagai kasus, ada yang mencuri soal, ada yang memberikan jawaban di kamar mandi, ada yang mengirimkan SMS, bahkan ada yang melakukan kerjasama begitu rapi. Guru membuat kunci jawaban kemudian diberikan kepada anak yang duduk di depan dan selanjutnya lembar jawaban diangkat supaya bisa ditiru oleh siswa yang di belakangnya. Jika praktik seperti ini sudah dimulai sejak di SD. Kita bisa membayangkan, bagaimana pendidikan kita jika hal ini terus dilakukan? Bisa-bisa Indonesia akan meluluskan lulusan pembohong. Mudah-mudahan itu tidak terjadi.
Berawal dari realita ini, kami mencoba untuk menggagas “Sekolah Berbasis Barakater”. Kami sangat menyadari bahwa Ujian Nasional meskipun mengundang pro dan kontra, tapi ini realita yang sudah menjadi bagian dari system pendidikan di Indonesia. Dengan tujuan agar kualitas pendidikan di Indonesia meningkat. Untuk menjawab ini semua, para petinggi pendidikan yang bisa menjawab dengan realita yang ada sekarang ini.
“Sekolah Berbasis Karakter” kami gagas sejak bulan Januari 2007. konsep ini kami terapkan di Al-Azhar Kelapa Gading Surabaya. Konsep yang berbentuk buku ini telah diberi komentar oleh Mendiknas, Prof. Dr. H. Bambang Sudibyo, Kepala Dinas Pendidikan Jawa Timur, Dr. Rasiyo, Ketua Dewan Pendidikan Jawa Timur, Dr. Daniel M. Rasyid. Rektor ITS Prof. Ir. Priyo Suprobo, MS., Ph.D Dan masih banyak lagi komentar dari para tokoh pendidikan di Jawa Timur.
Di dalam Buku ini kami berusaha memberikan solusi terhadap masalah yang muncul dalam dunia pendidikan, terutama menyiapkan anak-anak didik menjadi anak-anak yang memiliki kepribadian utuh. Selain tetap pada system yang berjalan, kepribadian anak serta idealisme guru tetap terjaga. Saya tidak berharap dengan adanya sistyem yang ada ini, menghapus berbagai potensi yang sudah dimiliki anak. Sehingga terjadi pembunuhan karakter sejak dini atas nama pendidikan. Lebih jauh lagi, kita semua harus tetap menjaga karakter anak, jangan sampai kejujuran mereka ternoda dengan kebohongan-kebohongan untuk tujuan sesaat.
Kami menuangkan konsep pendidikan yang bertumpu pada sifat dasar manusia dengan menggunakan tiga pilar utama. Pertama, setiap manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah, yaitu memiliki kecenderungan berbuat baik. Untuk itulah sifat Rasulullah Muhammad SAW menjadi tauladan yang harus dibudayakan dalam kehidupan sehari-hari agar fitrah itu terus terjaga. Jangan sampai karena tujuan sesaat itu merusak fitrah manusia. Terutama anak-anak kita. Pilar pertama ini adalah pembentukan moral. Kedua, setiap anak cerdas. Artinya, tidak ada anak yang bodoh, semua anak memiliki kecerdasan yang berbeda-beda. Untuk itulah kecerdasan yang berbeda itu perlu dikembangkan sesuai dengan potensinya. Pilar kedua adalah pengembangan kecerdasan majemuk. Ketiga, setiap aktifitas mempunyai tujuan, begitu pula dalam pembelajaran. Untuk itu setiap pembelajaran lebih ditekankan pada kebermaknaan pembelajaran. Apa artinya anak sekolah apabila tidak memiliki makna buat anak itu serta ke depan untuk membangun bangsa yang bermoral dan berwibawa. Untuk itulah berbagai pendekatan yang mampu menggugah anak untuk belajar mandiri dalam mencapai tujuannya. Kami berusaha mendekatkan antara output dan outcome.
Dalam memahami tiga pilar yang ada, sekolah tidak bisa melangkah sendiri. Ketiga pilar itu perlu dukungan dari orang tua. Antara sekolah dengan orang tua saling memberikan dukungan. Dengan demikian akan terwujud sebuah harapan. Dan semua itu tidak lepas dari rasa tanggung jawab yang kuat dan kerja keras untuk tujuan membangun karakter anak bangsa. “Sekolah Berbasis Karakter” ini bisa diterapkan oleh siapa saja. Sebagaimana saran Dr. Rasiyo agar konsep ini bukan untuk kalangan tertentu, tetapi semua kalangan bisa melaksanakan. Ada beberapa langkah yang bisa diterapkan dalam konsep ini.
Pilar pertama: Pembentukan Moral
Pada pilar pertama ini penekananya pada pembiasaan dan pendampingan. Ada langkah-langkah untuk pembiasaan dan pendampingan: Pertama, memasukkan konsep moral pada setiap kegiatan pembelajaran dengan cara: a) Menanamkan nilai kebaikan kepada anak (Knowing the good), b) Menggunakan cara yang membuat anak memiliki alasan atau keinginan untuk berbuat baik (Desiring the good), c) Mengembangkan sikap mencintai perbuatan baik (Loving the good), d) Senantiasa melaksanakan perbuatan baik (Acting the good). Kedua, membuat slogan-sloga yang mampu menumbuhkan kebiasaan baik dalam segala tingkah laku masyarakat sekolah. Ketiga, pemantauan secara kontinyu atau pendampingan guru setiap saat. Pemantauan ini meliputi tiga hal, khususnya dalam soft competence, yaitu perilaku, kosep diri anak, dan motivasi. Keempat, pendampingan orang tua di rumah dengan memberikan penilaian terhadap perilaku anak di rumah. Selanjutnya dikonsultasikan dengan guru di sekolah.
Pilar kedua: Pengembangan Kecerdasan Majemuk
Setiap anak memiliki kecerdasan. Dengan kata lain, tidak ada anak yang bodoh. Profesor Howard Gardner dalam sebuah penelitiannya menyatakan bahwa ada minimal 9 kecerdasan yang dimiliki oleh anak. Hal ini memberikan peluang kepada setiap manusia untuk mengembangkan setiap kecerdasan yang dimilikinya. Sembilan kecerdasan itu adalah, kecerdasan spiritual, linguistic, logis-matematik, visual-spasial, kinestetik-jasmaniah, musical, interpersonal, intrapersonal, dan natural.
Dengan mengembangkan kecerdasan majemuk di sekolah, maka seorang guru bisa mengetahui gaya belajar anak sesuai dengan kecerdasan yang dimiliki oleh anak sehingga guru juga bisa menyesuaikan dengan gaya mengajarnya. Selain itu, guru bisa mengembangkan potensi kecerdasan yang telah dimiliki sebagai benih awal untuk mengarah pada puncak prestasi dan kesuksesan anak. Hal ini dilakukan bersama orang tua.
Selama ini masih banyak orang yang terpaku pada tes IQ yang telah dikembangkan oleh Binnet. Hal inilah yang sering membuat orang tua resah. Dengan hasil tes IQ yang tidak menguntungkan seolah-olah sudah suramlah masa depan anak. Sejak Daniel Goelman menginformasikan hasil penelitiannya, bahwa kesuksesan anak 20% ditentukan oleh IQ sementara 80% ditentukan oleh Emotional Quotient (EQ) dan Spiritual Quotient (SQ), maka ini dapat mengurangi keresahan orang tua.
Pilar Ketiga: Kebermaknaan Pembelajaran
Sekolah haruslah bermakna bagi siswa dan lingkungannya. Apa artinya anak ke sekolah jika tidak memberikan manfaat. Banyak waktu yang dihabiskan oleh anak di sekolah tetapi tidak mendapatkan apa-apa sehingga tidak jarang anak-anak merasa bosan di sekolah dan akhirnya malas ke sekolah.
Untuk mewujudkan agar pembelajaran memiliki kebermaknaan, maka ada langkah-langkah yang strategis untuk dilakukan oleh sekolah atau guru. Pertama, sekolah melihat kebutuhan anak dan masyarakat. Kedua, setiap guru menentukan tujuan materi yang diajarkan kepada anak. Ada dua tujuan dalam proses pembelajaran, pertama higt base education, pendidikan yang berorientasi pada kejenjangan. Lulusan memiliki nilai yang baik sehingga bisa memilih sekolah yang diharapkan. Kedua, broad base education, pendidikan yang berorientasi pada kecakapan hidup. High base education akan menghasilkan output yang baik dan broad base education akan menghasilkan outcome yang berkualitas. Kami mencoba mendekatkan antara output dengan outcome.

Monday, October 27, 2008

Memulai dari Cita-Cita

“Apa cita-citamu nanti kalau sudah besar?” Tanya seorang ibu kepada anaknya yang masih duduk di bangku TK. Si anak menjawab sekenanya, “Aku ingin menjadi dokter, aku ingin menjadi pilot, aku ingin menjadi guru, aku ingin menjadi superman, dan lainnya.”
Dari jawaban pertanyaan yang disampaikan oleh seorang ibu, sebenarnya masih bisa dikembangkan lagi. “mengapa kamu ingin menjadi dokter, menjadi pilot, menjadi guru, menjadi superman, dll”. Jawaban anak itu sekenanya, tetapi minimal ia sudah mempunya konsep tentang dokter, pilot, guru, superman, atau lainnya.
Pertanyaan itu merupakan benih yang kita semai. Sementara jawaban anak yang sekenanya itulah benih yang sudah uncul tunasnya. Meskipun suatu saat jawaban anak akan berubah-ubah dan itu pasti terjadi. Tetapi minimal ia sudah mempunyai arah sesuai dengan pandangan yang positif.
Dari sinilah orang tua sudah mulai bisa memasukkan konsep-konsep dasar bagi anak. Apa itu itu, dokter, guru, bahkan superman sekalipun. Apa yang baik dalam obsesi anak itulah yang perlu didekatkan dengan alam nyata dan nilai-nilai agama. Seperti anak suka dengan superman, mengapa? Superman itu adalah cerita hayalan. Tetapi ada nilai baik yang ada di dalam bayangan anak tentang superman, maka orang tua tinggal mengarahkan saja.
Begitu juga yang mempunyai cita-cita menjadi dokter, guru, dan lainnya selalu ada alasan, meskipun alasan itu sangat sederhana bahkan terkadang tidak masuk akal. Hal itu perlu diketahui bahwa pada diri anak sebenarnya banyak hal yang ingin diungkapkan, tetapi keterbatasan kosa kata dan pengalaman sehingga cukup diwakili oleh kata-kata yang kadang-kadang tidak masuk akal. Pada saat seperti inilah maka orang tua bisa masuk memberikan pemahaman yang bisa diterima oleh anak.
Kadang-kadang cita-cita anak tidak diungkapkan lewat kata-kata, tetapi langsung dipraktikkan. Ada anak yang langsung praktik mengajar di hadapan teman sebayanya. Ada yang naik guleng dan membayangkan dia sedang menjadi pilot. Ada pula yang main dokter-dokteran. Jika dirasa apa yang dilakukan oleh anak itu baik, maka perlu difasilitasi. Tetapi jika itu kurang baik, maka diberi pengertian yang baik.
Nah, sekarang Pernahkah Anda bertanya kepada anak tentang cita-citanya? Barangkali hal ini oleh sebagian orang tua tidak penting. Namun bagi yang ingin membangun masa depan anak hal ini sangatlah penting sebagaimana contoh-contoh yang sudah dipapatkan di atas.
Keberhasilan seseorang tidak lepas dari sebuah mimpi. Mimpi adalah cita-cita yang dibangun sejak awal. Jika tidak dilatihkan kepada anak-anak hal itu bukan hal yang mudah. Bahkan saat ini banyak anak SMA yang belum mengetahui cita-citanya. Sehingga sekolah hanya mempunyai tujuan untuk mendapatkan satu ijazah. Apalagi dengan adanya Ujian Nasional Sebagai kelulusan, target utamanya adalah lulus. Setelah lulus apa yang dilakukan? Masih banyak yang mengatakan “Tidak tahu”.
Ketika orang tua sudah memberikan rangsangan kepada anak dengan mengetahu cita-citanya, satu tahap sudah dilakukan. Berikutnya anak-anak dikenalkan apa yang menjadi cita-citanya itu. Tahap yang yang tidak bisa ditinggalkan adalah mengenalkan kepada anak bahwa semua cita-cita itu adalah untuk mengabdikan diri kepada Allah. Sebagaimana Allah berfirman: “ Dan tidaklah aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepadaku.”
Untuk mengembangkan cita-cita anak, sebaiknya orang tua tetap memasukkan nilai-nilai agama bagi anak. Jangan sampai semua cita-cita itu hanya dikaitkan dengan kesuksesan di dunia semata.
Saat ini banyak orang tua yang terjebak pada urusan dunia semata. Padahal tujuan akhir manusia adalah akhirat. Di sinilah kita harus bisa melibatkan Allah dalam segala konsep di dalam mengembangkan kecerdasan anak agar kelak anak-anak bisa tumbuh sempurna dalam lindungan dan petunjuk dari Allah. Apapun usaha yang kita lakukan akan senantiasa mendapat balasan dari Allah. “Jika kita berbuat baik, maka perbuatan untuk diri kita sendiri. Jika kita berbuat jelek, maka perbuatan jelek untuk diri sendiri.”Semoga kita bisa menanam benih-benih kebaikan kepada anak. Kelak kita akan menuai apa yang sudah kita tanam. Hanya anak-anak yang solehlah yang menjadi investasi terbesar bagi orang tua kelas di akhirat. Dan menjadikan orang tua bahagia saat menghadap sang Maha pencipta.

Menjadikan Rumah Sebagai Sekolah Pertama bagi Anak

Mungkin saja anak tidak memperhatikan apa yang diperintahkan oleh orang tua. Tetapi yang pasti anak akan mencontoh apa yang dilakukan oleh orang tua. Pada usia-usia awal kehidupan anak di rumah bukan menjalankan intruksi tetapi merespon apa yang dilihat.
Ketika anak yang masih balita diperintah untuk solat, mungkin anak-anak belum mengerti apa itu solat. Namun ketika si anak melihat orang tuanya selalu menjalankan solat, maka secara spontan ia akan belajar dengan sendirinya. Ia akan minta solat meskipun belum bisa dengan sempurna. Begitu juga ketika orang tuanya memiliki satu keahlian tertentu dan anak-anak selalu mengamati, maka pada diri anak akan muncul keinginan untuk meniru.
Ketika anak ditugaskan untuk mengantar makanan ke tetangga, mungkin awalnya akan malu-malu. Namun ketika orang tuanya atau kakaknya mengajak adiknya ke tetangga untuk mengantar makanan, maka suatu saat anak akan merasa senang melakukan hal yang dilakukan oleh orang tuanya dan kakaknya untuk berempati terhadap orang lain yang membutuhkan.
Usia 0-7 tahun oleh sebagian pakar pendidikan disebut sebagai fase pemrograman. Usia ini sangat penting untuk membentuk anak-anak kita. Lingkungan sekitar menjadi model bagi anak-anak. Pada usia ini anak-anak belum tahu banyak tentang benar dan salah. Apa yang dilakukan oleh lingkungan sekitarnya itulah yang akan dilakukan.
Pada usia ini peranan orang tua cukup besar. Terbentuknya perilaku anak, baik mengenai perasaan, gejala emosional, tingkah laku, dan kebiasaan timbul dan berpusat pada orang tuanya. Jika pada saat ini apa yang dilihat dan dirasakan anak bernilai positif, sebenarnya orang tua telah melakukan pemrograman terhadap anak dengan nilai-nilai yang positif dan ini akan menguntungkan anak serta orang tua. Sebaliknya jika pada usia ini apa yang dilihat dan dirasakan anak bernilai negativ maka program yang masuk ke anak adalah nilai-nilai negativ dan ini sangat menguntungkan anak serta orang tua.
Sebagai orang tua pasti menginginkan yang terbaik untuk anak-anak. Tidak ada orang tua yang ingin menjerumuskan anak-anak. Namun sering kali apa yang dilakukan oleh orang tua berlebihan. Bukan perintah dan larangan yang dibutuhkan oleh anak-anak, tetapi model yang akan selalu mendapat perhatian.
Ada pesan dari kholifah Abu Bakar As-Siddiq yang cukup berharga buat kita orang tua. “Didiklah anak-anakmu karena mereka menghadapi zaman yang sama sekali lain dari zamanmu”. Ini warning buat orang tua bahwa tantangan zaman ke depan jauh lebih berat buat anak-anak kita. Jika kita salah membentuk di rumah, maka di mana lagi anak bisa dibentuk. Sementara rumah adalah sekolah pertama bagi anak-anak.
Bahkan Allah jauh-jauh sudah mengingatkan kepada kita terhadap generasi yang akan datang.
Sebagaimana yang termaktub di dalam surat An-Nisa’ ayat 9. “Orang-orang hendaklah takut kepada Allah, andaikata sesuadah wafatnya meninggalkan turunan yang lemah, yang mereka khawatirkan nasib mereka akan terlunta-lunta. Karena itu hendaklah mereka taqwa kepada Allah dan mengucapkan kata-kata yang lemah-lembut”.
Ada dua hal yang penting untuk membentuk pribadi anak yang cerdas. Pertama adalah selalu mendekatkan diri kepada Allah. Allah maha cerdas dan yang memberikan kecerdasan. Semua ilmu adalah rahmat dari Allah. Untuk itulah sandaran yang kokoh dan tidak mudah goyah apabila selalu dekat dengan Allah. Kedua, kata-kata yang lemah-lembut, kata-kata yang baik akan dapat membentuk konsep diri anak. Anak-anak yang sejak kecil sudah memiliki konsep diri yang positif dalam kehidupannnya, maka dengan mudah akan mengembangkan kecerdasan yang dimilikinya. Sebaliknya kecerdasan yang dimiliki anak akan hilang apabila tertutup oleh konsep diri yang negatif. Sebagai sekolah pertama bagi anak-anak, maka lingkungan rumah harus mampu membangun konsep diri posirif bagi anak. Menjauhkan kata-kata yang tidak berguna, kata-kata yang membuat anak-anak jadi penakut dan minder. Justru kata-kata yang baik, lemah-lembut, yang mampu memotifasi anak untuk selalu mengembangkan kecerdasan yang dimilikinya.

Hati-hati Membandingkan Anak

Maukah kita dibandingkan dengan orang lain atau dibandingkan dengan saudara. Jawabannya pasti “Tidak”. Tidak seorangpun yang suka dibandingkan dengan orang lain. Begitu juga anak, tidak akan suka dibandingkan dengan anak lain, termasuk dengan saudaranya sendiri.
Mengapa kamu tidak seperti saudaramu?
Kalau kamu ingin pintar, lihat saja temanmu itu!
Kamu tidak pernah dapat nilai bagus, temanmu itu selalu nilainya bagus, mengapa
sih?
Apa yang terjadi apabila orang tua selalu membuat perbandingan anaknya dengan saudara, atau dengan orang lain. Tentunya ini sangat membebani anak. Bahkan ini hanyalah akan memunculkan perasaan dendam, baik kepada teman maupun saudaranya. Bahkan memunculkan rasa kebencian kepada orang yang membandingkan. Lebih tragis lagi adalah awal tumbuhnya kebohongan pada anak.
Kalau mau jujur dan jeli, sejak kecil orang tua sudah bisa mengenali anak sendiri. Apa sebenarnya kecenderungan yang dimiliki oleh anak. Dari pengalaman itulah sebenarnya orang tua sudah tahu apa yang menjadi kelebihan anak. Untuk selanjutnya potensi itulah yang perlu dikembangkan. Kadang-kadang orang tua tidak menyadari bahwa anaknya telah menjadi dirinya saat ini, dengan berbagai potensi yang dimiliki. Namun keinginan orang tua agar anaknya menjadi orang lain, bahkan menjadi apa yang diharapkan orang tua.
Masih banyak yang beranggapan bahwa kecerdasan anak hanyalah nilai di bangku sekolah. Bahkan kesuksesan anak-anak nanti akan ditentukan oleh nilai ulangan. Sudah saatnya kita semua memperhatikan anak secara komprehensif. Tidak hanya pada satu hal saja. Jauhkan “Ego” pribadi orang tua dan tidak memaksakan anak secara berlebihan. Sampai-sampai membanding-bandingkan anaknya dengan orang lain dan saudaranya.
Perhatikan Surat Al-Fatihah yang disebut “sab’ul masaani, ummul qur’an”. Disebut “sab'ul masaani” karena tujuh ayat yang diulang-ulang dalam setiap solat. Sedangkan disebut “ummul qur’an” karena sebagai induk dari isi al-Qur’an. Termasuk di dalam mendidik anak pun kita bisa membuat analogi surat Al-Fatihah.
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang (1). Segala puji bagi Allah, tuhan penguasa alam semesta (2). Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang (3). Yang Menguasai Hari Pembalasan (4). Hanya kepada Engkaulah kami menyembah, dan hanya kepada Engkau pula kami mohon pertolongan (5). Tunjukkilah kami jalan yang lurus (6). Yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau beri nimat, bukan jalan orang-orang yang Engkau murkai, dan bukan pula jalan orang-orang yang sesat (7).”
Ada pelajaran yang bisa kita ambil pelajaran dalam mendidik anak dari surat Al-Fatihah. Ketika kita mohon kepada Allah, maka kita sampaikan sanjungan-sanjungan kepada Allah. Ayat 1 sampai 5 merupakan sanjungan kepada Allah. “Allah Maha Pengasih Penyayang, penguasa alam semesta, penguasa hari pembalasan, tempat menyembah dan mohon pertolongan”. Barulah pada ayat ke 5 sampai 7 kita bermohon kepada Allah.
Coba bandingkan, berapa kali kita memberikan penghargaan kepada anak, minimal memuji anak dibandingkan dengan kita memberikan hukuman atau menunjukkan kesalahan anak kita. Semakin diberi dorongan, ditunjukkan keunggulanhya, ia akan semakin termotivasi untuk melakukan yang terbaik. Sebaliknya, semakin disalahkan, maka semakin banyak pula anak akan melakukan kesalahan.
Alangkah indahnya jika hal ini bisa diterapkan ketika mendidik anak. Setiap anak pasti memiliki kelebihan dan kelebihan itulah yang disampaikan kepada anak terlebih dahulu. Berikan pengertian kepada anak, berikan dorongan, dan berikan pujian untuk anak. Dengan memahami, memberikan dorongan, dan pujian, insya-allah apa yang menjadi kelebihan anak akan terus dipelihara karena anak sudah termotifasi. Bahkan talenta yang dimiliki akan dikembangkan. Selanjutnya sambil mencari kelebihan yang lain. Bukan sebaliknya, orang tua hanya mencela terhadap kesalahan-kesalahan anak. Mencela dan mencari-cari kesalahan hanyalah akan mengukuhkan kelemahan anak. Ini sangat berakibat buruk bagi anak.
Ada sebuah kalimat bijak yang disampaikan oleh Dorothy Low Nolte. “Jika anak banyak dicela, ia akan terbiasa menyalahkan. Jika ia banyak dimusuhi, ia akan terbiasa menentang. Jika anak dikelilingi olok-olok, ia akan menjadi minder. Jika anak serba dimengerti, ia akan terbiasa menjadi penyabar. Jika anak diberi dorongan, ia akan terbiasa percaya diri. Jika anak banyak dipuji, ia akan terbiasa percaya diri.”Ketika ingin membandingkan anak, maka bukan dengan orang lain juga bukan dengan saudara. Bandingkan anak itu dengan dirinya sendiri, bagaimana yang dulu dengan sekarang. Jika anak ada perubahan ke arah positif, maka sesungguhnya nilai yang baik bagi anak. Sebaliknya jika anak mengalami perubahan ke arah yang negative, maka arahkan agar hal itu tidak terjadi.

Setiap Anak Memiliki Kecerdasan

Manusia adalah makhluk ciptaan Allah yang paling sempurna. Manusia diberi bentuk yang terbaik dibanding makhluk lainnya, diberi akal fikiran, dan diberi keinginan atau yang sering disebut nafsu. Ini artinya manusia lahir dengan membawa potensi alamiah dan perlu untuk dikembangkan setiap potensinya sejak dini. Tentunya potensi-potensi yang baik yang perlu dikembangkan. Itulah wujud dari rasa syukur atas kesempurnan manusia yang diberikan oleh Allah.
Masih banyak orang tua kurang percaya terhadap kecerdasan anaknya. Masih banyak orang yang melihat kecerdasan hanya dari satu sisi, yaitu kecerdasan intelektual. Sementara dengan berkembangnya ilmu pengetahuan ditemukan bahwa bukan hanya IQ yang bisa menjawab tentang kesuksesan seseorang. Hal ini dapat meminimalisir keresahan orang tua bahkan bisa menjadi jawaban agar orang tua lebih bisa memahami persoalan kecerdasan anak.
Kecerdasan diartikan sebagai kesempurnaan perkembangan akal budi (kepandaian atau ketajaman pikiran). Dengan kata lain, setiap orang yang memiliki ketajaman pikiran disebut orang yang cerdas.
Kecerdasan seseorang memiliki berbagai dimensi. Ada kecerdasan yang muncul secara alami ada pula yang muncul melalui proses. Kecerdasan yang muncul secara alami dan ini pemberian Allah SWT sejak lahir disebut intelligence Quotient (IQ). Terutama pada pertumbuhan awal, yakni golgen age. Pertumbuhan pada masa-masa keemasan. Ada juga kecerdasan yang muncul melalui proses pendewasaan pikiran, mengolah perasaan, dan hati, yang disebut Emotional Quotient (EQ). Ada juga kecerdasan yang muncul melalui penghayatan, pemahaman, dan pendalaman tentang agama, yang disebut Spiritual Quotient (SQ). Ada lagi kecerdasan yang muncul dari sebuah keinginan untuk mengubah hambatan menjadi peluang, yang disebut Adversity Quotient (AQ).
Setiap kecerdasan yang muncul pada masing-masing pribadi merupakan ketajaman pikirannya, baik itu yang muncul secara alami, maupun yang muncul melalui proses pengasahan. Kecerdasan yang dimiliki oleh masing-masing pribadi harus selalu dikembangkan agar potensi terus melejit.
Ini pula yang menjadi kata kunci bagi guru dan orang tua yang masih beranggapan bahwa IQ adalah segala-galanya. Sehingga ketika melihat anak yang IQ rendah, seolah-olah sudah tidak memiliki masa depan. Padahal, masih ada kecerdasan lain yang perlu dikembangkan.
Orang tua yang memiliki anak dengan IQ di bawah rata-rata, tidak perlu cemas dan merasa masa depan mereka akan suram. Yakini bahwa anak-anak kita memiliki masa depan yang cerah. Berikan sandaran yang kuat bahwa Allah yang akan menentukan masa depan anak-anak kita. Kesuksesan abadi ada pada penentu kebijakan abadi, Dialah Sang Pencipta yang selalu mendengar hamba-hambanya yang memohon. Inilah kesuksesan yang hakiki. Kesuksesan tanpa petunjuk ilahi robbi hanyalah kesuksesan semu. Untuk itulah kecerdasan emosional (emotional quotient) dan kecerdasan spiritual (Spiritual Quotient) perlu dibangun sebagai landasan utama dan pertama di lingkungan keluarga.
Daniel Goelman yang memopulerkan kecerdasan emosional, dalam sebuah penelitiannya memberikan sebuah kesimpulan bahwa kecerdasan intelektual (IQ) menentukan sukses seseorang sebesar 20%. Sedangkan kecerdasan emosional (EQ) memberikan kontribusi 80% bersamaan dengan kecerdasasan spiritual (SQ).
Ary Ginanjar Agustian dalam bukunya “Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosional dan Spiritual”, memberikan satu solusi bahwa untuk membangun kecerdasan emosional dan spiritual (ESQ) menggunakan pijakan prinsip 6 rukun iman dan 5 rukun Islam. Rukun iman yang 6 itu merupakan prinsip membangun mental yang dipaparkan sebagai berikut: Prinsip satu, star principle, prinsip bintang, iman kepada Allah. Prinsip dua, angel principle, iman kepada Malaikat. Prinsip tiga, leadhership principle, prinsip kepemimpinan, iman kepada rasulullah. Prinsip empat, learning principle, prinsip pembelajaran, iman kepada Al-Qur’an. Prinsip lima, vision principle, prinsip masa depan, iman kepada hari akhir. Prinsip enam, well organized principle, prinsip keteraturan, iman kepada qodlo dan qodar.
Sementara 5 rukun Islam, sebagai prinsip ketangguhan pribadi, personal strength dapat dijabarkan sebagai berikut: Langkah satu, mission statement, penetapan misi, persaksian, melafalkan dua kalimah syahadah. Langkah dua, character building, pembangunan karakter, selalu mendekatkan diri kepada Allah, dalam wujud shalat. Langkah tiga, self controlling, pengendalian diri, dengan banyak berpuasa, baik yang sunnah maupun yang wajib. Langkah empat, social strength, ketangguhan social, diwujudkan dalam membayar zakat, Langkah lima, total action, aplikasi total, diwujudkan dalam pelaksanaan ibadah haji.
Profesor Howard Gardner menawarkan konsep yang dihasilkan dari hasil sebuah penelitiannya bahwa manusia memiliki paling tidak sembilan “pusat kecerdasan”, bahkan lebih. Hal ini memberikan peluang kepada setiap manusia untuk mengembangkan setiap kecerdasan yang dimilikinya. Ingat, bahwa manusia memiliki potensi dan karakter kecerdasan yang berbeda. sembilan kecerdasan itu adalah, kecerdasan spiritual, kecerdasan linguistik, logis-matematis, visual-spasial, kinestetis-jasmani, musical, interpersonal, intrapersonal, dan naturalis. Agar kecerdasan yang dimiliki anak bisa dikembangkan secara maksimal, maka sekolah dan orang tua dituntut memiliki kepedulian dalam mengasah kecerdasan yang dimiliki anak. Orang tua tidak perlu cemas, yakini bahwa setiap anak memiliki kecerdasan dan perlu diasah agar potensi yang dimiliki saat ini bisa dikembangkan dengan baik. Sehingga kelak anak-anak kita menjadi anak yang sukses dunia dan akhirat.

Teriakan yang Mematikan

Ada cerita dari penduduk yang tinggal di sekitar kepulauan Salomon, yang letaknya di Pasifik Selatan. Penduduk primitive ini memiliki kebiasaan meneriaki pohon dengan teriakan yang mematikan.
Ketika penduduk hendak memotong pohon yang memiliki akar kuat dan sulit untuk dipotong maka sebagian penduduk yang berani naik ke atas pohon kemudian berteriak sekuat-kuatnya dan memaki-maki pohon. Hal ini dilakukan sampai berjam-jam selama empat puluh hari. Sungguh menakjubkan, ternyata pohon yang diteriakin itu perlahan-lahan daunnya mongering, rontok, kemudian mati.

Sesuatu yang aneh, namun mereka telah membuktikan bahwa teriakan yang dilakukan kepada makhluk hidup, seperti pohon akan menyebabkan benda tersebut kehilangan rohnya.
Ada juga penelitian yang dilakukan oleh seorang ilmuwan dari .Jepang tentang air. Profesor ini meneliti dua air yang dimasukkan dalam sebuah tempat yang terpisah untuk dibekukan. Botol yang satu senantiasa didoakan sementara satunya diteriaki dengan kata-kata yang menghinakan. Subhanallah, ternyata setelah kedua air yang ada di dalam botol itu membeku, ternyata kristal airnya berbeda. Air dalam botol yang selalu didoakan itu bentuk kristalnya indah dan beraturan. Sementara kristal dalam air yang diteriaki dengan kata-kata yang menghinakan, berantakan dan tidak karuan.
Apa sebenarnya yang dapat dipetik dari cerita di atas? Ternyata kata-kata itu sangat berpengaruh. Setiap kali teriakan itu tertuju pada makhluk tertentu, maka berarti telah mematikan rohnya.
Bisa dibayangkan jika itu terjadi pada manusia. Teriakan orang tua kepada anaknya. Mungkin juga suami kepada istrinya, atau sebaliknya. Terkadang juga guru kepada muridnya. Bahkan bisa saja atasan kepada bawahannya.
Tanpa disadari teriakan itu kerap kali menyertai kita. Hal itu muncul ketika perasaan jengkel, marah, kecewa menghampiri. Orang tua ketika melihat anaknya sulit belajarnya, tiba-tiba muncul buah kata dari rasa jengkel. “Dasar bego, begini saja tidak bisa”. Kadang-kadang tidak cukup dengan suara keras. Masih diberi bonus ekspresi yang menyeramkan.
Begitu juga terkadang terjadi pada guru terhadap muridnya. Ketika muridnya sulit menerima pelajaran. Tak jarang ada kata keras muncul dari mulut seorang ibu. Itu semua pengaruh kejiwaan, yakni rasa jengkel dan kecewa. “Bagaimana kamu bisa pinter, mengerjakan seperti ini saja tidak bisa?”
Perlu diingat, jika pohon dan air saja menjadi hancur dan rohnya mati, apalagi manusia. Itu artinya, setiap kali kita berteriak, maka kita sudah mematikan orang yang kita cintai. Bisa saja anak kita. Bisa juga murid kita. Teriakan-teriakan itu hanyalah akan menjauhkan jiwa seseorang. Anak yang tadinya dekat dengan orang tua, guru yang tadinya dekat dengan siswanya hatinya akan semakin menjauh, meskipun secara fisik tampak begitu dekat.
Jika kita masih bisa berbicara dengan baik-baik, kenapa harus berteriak. Berteriak hanyalah untuk orang-orang yang memang berjauhan. Jangan sampai secara fisik kita dekat dengan saudara kita, anak kita, dan murid kita. Ternyata secara hati kita justru jauh dari mereka.
Untuk masalah ini, ada dua peringatan Allah yang ditujukan kepada manusia, khususnya di dalam mendidik anak. Surat An_nisa’ ayat 9 : “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang sekiranya meninggalkan anak-anak yang lemah di belakang mereka, maka hendaklah mereka bertaqwa kepada Allah dan hendaklah mengucapkan perkataan yang baik”. Allah juga mengingatkan di dalam surat Luqman ayat 19: “Dan sederhanalah dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara adalah suara keledai.”
Sebagai orang tua dan guru, semoga kita diberi kekuatan oleh Allah di dalam mendidik anak. Kita diberikan kesabaran terhadap godaan hati, kejengkelan, kecewa. Sehingga tidak sampai mengeluarkan kata-kata yang menyakitkan karena hal itu akan berakibat buruk bagi anak-anak kita.