Hadirnya Hari Raya Idhul Adha tidak pernah bisa dilepas dari sejarah perjalanan dan keteladanan Nabi Ibrahim AS dan Nabi Ismail AS. Dua generasi, orang tua dan anak ini mampu bersinergi di dalam menjalankan ketaatan untuk menghambakan diri kepada Allah sepenuh hati. Hal ini ditunjukkan pada saat menghadapi perintah Allah yang cukup berat.
Perintah itu telah diabadikan Allah di dalam Surat As-Shaffat: 102, “Hai anakku, sesungguhnya aku bermimpi dalam tidurku, bahwa aku menyembelih engkau, maka perhatikanlah bagaiman pendapatmu? Anaknya menjawab: Wahai ayahku, kerjakan apa yang diperintahkan Allah, ayah akan mendapati bahwa aku berhati sabar, insya-Allah”
Dialog yang terdapat pada ayat di atas bukanlah sebuah drama yang sering dijumpai di TV atau panggung pertunjukkan. Dialog di atas merupakan cermin ketulusan dan keluhuran pribadi yang menjadi teladan dari dua generasi. Generasi tua yang ditunjukkan oleh seorang ayah yang bijaksana, Nabi Ibrahim AS dan generasi muda yang ditunjukkan oleh seorang anak yang memiliki kepatuhan, Nabi Ismail AS.
Sebuah keteladanan yang saat ini hampir sulit ditemui di dalam keluarga adalah membangun komitmen ketaatan. Ini tidak lepas dari pengaruh lingkungan yang memang menjauhkan manusia untuk mendekat kepada Allah, terutama dalam membimbing putra-putri tercinta. Selain itu, kesibukan tentang mengejar dunia sering kali lupa tugas utama sebagai hamba Allah untuk senantiasa mengabdi kepada-Nya. “Dan tidaklah aku ciptakan jin dan manusia, kecuali untuk beribadah kepada-Ku.”
Berapa kali kita lalui Idul Adha dan berapa kali kita merenungi hikmah dibalik kisah yang penuh makna ini. Lalu bagaimana kualitas hidup kita saat ini? Terutama dalam membangun keluarga yang senantiasa memiliki komitmen untuk taat kepada-Nya. Apakah kehidupan kita meningkat, tetap seperti sebelumnya, atau justru kualitas iman semakin menurun?
Sudah saatnya kita berguru pada nilai-nilai yang terkandung dalam peringatan Hari Raya Idul Adha. Perilaku kesabaran dan kesadaran dalam berkorban untuk memenuhi panggilan Allah. Kegiatan ini bukan sekedar symbol formalitas, tetapi wujud pengorbanan yang tulus ikhlas sebagai bentuk ketaatan untuk menghambakan diri pada-Nya.
Ikhlas memang kata yang ringan untuk diucapkan, tetapi sulit untuk dilaksanakan dengan baik. Namun demikian perlu untuk tetap diusahakan karena bagaimanapun juga ikhlas menjadi penentu dalam setiap perilaku. Ikhlas tumbuh dari sebuah niat karena niat sebagi pengikat amal manusia. Ketika niat sudah salah, maka hasilnya akan bermasalah.
Seorang ulama, Sufyan Ats-Tsauri, “Sesuatu yang paling sulit bagiku untuk aku luruskan adalah, karena begitu seringnya niat itu berubah-ubah.” Ini artinya, kita bisa tetap waspada terhadap niat kita. Begitu ada perubahan niat yang mengarah pada hal-hal yang kurang baik, maka segeralah untuk diluruskan.
Kembali pada persoalan sinerginya dua generasi, generasi tua dan generasi muda. Islmail sebagai wakil dari generasi muda menjadi sosok manusia yang memiliki kepatuhan terhadap orang tua. Ini bukan karena apa, tetapi tidak lepas dari orang tua yang bisa menjadi teladan. Ibrahim yang mewakili generasi tua begitu dekat dengan Allah. Meskipun beliau memiliki kekuasaan untuk melakukan apa saja yang ia mau, termasuk untuk menyembelih putranya, tetapi dengan bahasa yang santun hal itu disampaikan kepada putranya. Lebih-lebih, kedua orang tuanya begitu dekat dengan Allah.
Siti Hajar, istri Nabi Ibrahim AS adalah sosok perempuan yang dekat dengan Allah SWT dan memiliki tanggung jawab yang besar terhadap putranya. Saat Ibrahim kecil kehausan di tengah padang pasir, Siti Hajar berlari mencari air minum dari bukit Sofa ke bukit Marwah berulang-ulang. Namun usaha itu tidak ditemui hingga akhirnya dari kaki Ismail keluarlah mata air yang jernih. Itulah air zam-zam yang menjadi oleh-oleh bagi jamaah haji hingga saat ini. Kejadian itu semua diabadikan dalam rangkaian kegiatan Haji di Tanah Suci.
Anak adalah rantai generasi yang akan melanjutkan agenda orang tua. Jika kemuliaan tidak dibangun dan dicontohkan oleh orang tua kepada anak, lalu ke mana anak harus belajar tentang kebenaran. Justru dari orang tualah anak akan bisa mengabadikan kebenaran itu. Boleh jadi anak tidak taat kepada orang tua, tetapi percayalah bahwa anak akan selalu mengikuti perilaku orang tua. Jika orang tua bisa memberikan keteladanan, memberikan contoh-contoh perilaku yang mulia, maka anak akan mengikutinya. Sebaliknya, ketika nilai-nilai kemuliaan mulai ditinggal, bersamaan itu pula anak akan menjauh dari nilai-nilai kemuliaan.
Pendidikan anak menjadi persoalan yang perlu diseriusi. Perilaku anak cermin dari pendidikan yang dibangun oleh orang tua, baik yang ada di rumah maupun pendidikan di sekolah. Pendidikan di rumah menjadi tanggung jawab orang tua. Perilaku orang tualah yang banyak mewarnai perilaku anak. Sedangkan di sekolah, guru memegang peranan yang sangat strategis dalam membentuk perilaku anak. Anak yang sejak lahir memiliki kecenderungan berperilaku baik perlu dikawal dengan baik pula. Tentunya keteladanan sebagai kata kunci. Dengan demikian, kita akan melahirkan generasi seperti Nabi Ibrahim AS yang melahirkan generasi Ismail AS yang sama-sama memiliki komitmen ketaatan dalam mengabdikan diri kepada Allah dengan sepenuh hati.
Momen idul Adha perlu dijadikan pelajaran yang berharga. Khususnya bagi umat Islam dalam membangun generasi islami. Generasi yang akan mewarisi semua agenda dalam membangun Negara yang tercinta ini agar menjadi Negara penuh wibawa dengan landasan nilai-nilai kebenaran yang bersumber pada kitab suci. Amin
Dimuat di Majalah Mayara
Oktober 2011
Tuesday, November 29, 2011
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment