Fenomena yang terjadi di sekitar kita cukup memprihatinkan. Saat ini Kejujuran menjadi barang yang mahal. Kesabaran sulit untuk dicari. Nurani begitu mudah disulut oleh emosi. Masyarakat begitu mudahnya diadu domba. Di arena olahraga kehilangan sportifitas, hingga yang kalah murka dan terjadi amuk masa.
Dekadensi moral tampak nyata di depan mata. Rasa hormat anak kepada orang tua telah memudar. Jaring narkoba tertata begitu rapi, dari jaringan internasional hingga di lingkungan sekolah. Pornografi dan pornoaksi mudah dilihat dan sering dijadikan panduan bagi kalangan remaja. Kini pengaruh globalisasi menjadi tak terbendung lagi.
Dalam data komnas perlindungan anak didapatkan, bahwa perilaku anak cukup memprihatinkan dan sudah masuk pada wilayah emergency. Menurut data yang dikutip dari Media Indonesia 18 Januari disebutkan bahwa pengakuan remaja di kota besar dalam berhubungan seks pranikah sebagi berikut: 62,7% remaja pernah melakukan, 21,2% remaja pernah aborsi, 93,7% remaja pernah berciuman dan oral seks, 97,0% remaja pernah nonton video porno.
Di sisi lain, narkoba juga menjadi persoalan yang cukup serius untuk ditangani. Dari data Badan Narkotika Nasional (BNN) ada sekitar 3.600.000 jumlah pengguna narkoba di Indonesia. Dari jumlah itu, 41% adalah pengguna pemula, yaitu usia 14 sampai 18 tahun (Republika online, 26/06/2010).
Ketika melihat fenomena yang terjadi saat ini, sebagai orang tua kita mengelus dada. Muncul kehawatiran terhadap perilaku anak yang sudah jauh dari fithrah. Keresahan orang tua ini juga dirasakan oleh pemerintah. Hal ini tampak dengan bergulirnya pendidikan karakter sebagai bentuk kebijakan kemendiknas untuk mengantisipasi perilaku anak. Dalam sebuah seminar Bapak Prof. Dr. Ir. M. Nuh, DEA (Mendiknas) mengatakan agar pendidikan karakter segera dilaksanakan. Bahkan pendidikan karakter menjadi program utama yang melibatkan 16 kemeterian.
Persoalan ini perlu dikembalikan pada porsi yang sebenarnya. Sesungguhnya Allah menciptakan manusia dengan potensi utuh. Selain memiliki fithrah (kecenderungan untuk meng-Ilahkan Allah), setiap manusia juga diberi potensi kecerdasan. Allah berfirman di dalam surat Al-A’raf ayat 172: “Dan Ingatlah, ketika tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari Sulbi mereka, dan Allah mengambil persaksian terhadap jiwa mereka (seraya Berfirman): Bukankan Aku ini Tuhanmu? Mereka menjawab: Betul, Engkaulah Tuhan kami, kami menjadi saksi.” Ayat ini menunjukkan bahwa setiap anak fithrah, yaitu cenderung untuk meng-Ilahkan Allah.
Setiap manusia yang terlahir ke dunia sudah dimodali kecerdasan. Sekitar 10 sampai 15 milyar sel otak yang aktif sudah diberikan begitu manusia lahir. Selain itu manusia dilengkapi dengan pendengaran, penglihatan, dan hati untuk memacu perkembangan otak. Sebagaimana firman Allah surat An-Nahl ayat 78: ”Dan Allah mengeluarkan dari perut ibumu, sedang kamu tidak tahu sesuatu apapun. Lalu diberi-Nya pendengaran, penglihatan, dan hati, semoga kamu menjadi orang yang bersyukur.”
Cukuplah bagi kita dengan dua dasar dalil naqli di atas. Meskipun kalau kita mau terus menggali dasar yang lain akan lebih menguatkan kita bahwa anak-anak kita memiliki potensi yang dahsyat. Anak-anak kita begitu lugu dan polos, jujur dan berani. Tapi mengapa tiba-tiba ketika menginjak remaja dan dewasa berubah begitu drastis hingga membuat agenda permasalah bagi kita selaku orang tua.
Salahkah anak-anak kita? Layakkah anak-anak kita untuk dipersalahkan terus menerus tanpa ada introspeksi dari kita selaku orang tua? Kiranya kurang bijak jika kita selaku orang tua hanya menyalahkan anak-anak. Bukankah yang mengubah kesucian anak, perilaku anak adalah orang tua. Rasulullah telah megingatkan kepada kita, ” Setiap manusia dilahirkan dalam keadaan suci, maka orang tualah yang menjadikan yahudi, nasrani, atau majusi.”
Sesungguhnya anak-anak kita saat ini telah kehilangan figur panutan. Lalu kepada siapakah mereka akan melihat sosok yang bisa dicontoh. Informasi negatif jauh lebih banyak terekam di dalam diri anak daripada yang positif. Baik itu informasi yang dilihat maupun yang didengar. Sementara kita tahu bahwa pendengaran dan penglihatan adalah pintu masuknya informasi.
Suguhan tayangan televisi misalnya, telah membuyarkan konsep tentang nilai-nilai kebenaran. Lebih dari 60% tayangan televisi menyajikan hiburan yang banyak menyesatkan. Baik mengenai pornografi, pornoaksi, mistik, gaya hidup, dll. Sementara televisi ada di setiap rumah dan kini bukan menjadi barang mewah.
Kebohongan banyak diselamatkan atas nama golongan dan politik. Sementara kejujuran digadaikan untuk menjaga kehormatan dan kepentingan bagi kelompok-kelompok tertentu. Kasus SDN Gadel Surabaya misalnya, menjadi potret simbul ketidakjujuran nasional. Anak-anak dibimbing untuk tidak jujur oleh guru yang mestinya digugu dan ditiru. Begitu juga di rumah, anak-anak sering diberi contoh yang tidak selayaknya oleh orang tua.Saat ini mulai ada kecenderungan orang tua menyekolahkan putra-putrinya di pesantren. Tentunya ini sangat beralasan dengan kasus yang melanda bangsa ini. Kehawatiran orang tua tidaklah berlebihan. Orang tua lebih suka mencari model boarding school. Tinggal bagaimana respon pesantren terhadap kebutuhan orang tua seperti ini? Apakah seperti sekolah-sekolah biasa lainnya, ataukah ingin memiliki keunggulan nyata untuk menyelamatkan anak dan bangsa tercinta ini
Dimuat di Suara Maskumambang
September 2011
Wednesday, September 14, 2011
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment