A. Latar Belakarang
Karakter bangsa sebuah keniscayaan untuk segera dilaksanakan dalam dunia pendidikan. Karakter bangsa menjadi pilar penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Karakter bangsa ini ibarat kemudi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Walaupun begitu penting, ternyata keajegan perhatian terhadap pembangunan karakter bangsa belum terjaga dengan baik, sehingga hasilnya belum optimal.
Karakter bangsa ini merupakan salah satu amanat pendiri negara dan telah dimulai sejak awal kemerdekaan. Dalam sebuah pidatonya, pendiri negara pernah berpesan bahwa tugas bangsa Indonesia dalam mengisi kemerdekaan adalah mengutamakan pelaksanaan Nation and Character Building. Bahkan beliau telah wanti-wanti ”Jika pembangunan karakter bangsa tidak berhasil, maka bangsa indonesia akan menjadi bangsa kuli.”
Banyak permasalahan di sekitar kita. Berdasarkan survey Komnas Perlindungan Anak, PKBI, BKKBN tentang perilaku remaja yang telah melakukan hubungan seks pranikah di perkotaan sebagai berikut: 62,7% siswi SMP pernah melakukan. 21,2% remaja pernah aborsi. 93,7% remaja SMP dan SMA pernah melakukan ciuman dan oral seks. 97,% remaja SMP dan SMA pernah menonton film porno. (Media Indonesia, 18 Januari)
Data tentang korupsi pejabat misalnya, dari hasil riset yang dilakukan dalam Transparency International Corruption Perceptions Index 2009, masih menempatkan Indonesia pada peringkat yang sangat memperihatinkan. Terkait dengan penyalahgunaan narkotika, Badan Narkotika Nasional (BNN) pada tahun 2009 tercatat adanya 3,6 juta pengguna narkoba di Indonesia, dan 41% diantara mereka pertama kali mencoba narkoba di usia 16-18 tahun, yakni usia remaja SMP-SMU. (Republika online, 26/06/2009). Dan masih banyak permasalahan lain di negeri ini yang perlu diselesaikan melalui pendidikan.
Melihat fenomena seperti ini maka wajar jika pemerintah menjadikan pendidikan karakter program unggulan. Ini artinya pemerintah serius untuk menangani persoalan bangsa. Tidak ingin bangsa ini menjadi bangsa kuli. Tidak ingin bangsa ini semakin terpuruk nilai-nilai moral yang berakibat rusaknya sendi-sendi tatanan bangsa.
B. Memahami Konsep Pendidikan Karakter
Karakter menurut kamus besar bahasa Indonesia diartikan sebagai sifat-sifat kejiwaan, akhlaq atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain. Karakter juga bisa diartikan tabiat, yaitu perangai atau perbuatan yang selalu dilakukan atau kebiasaan. Karakter juga diartikan watak, yaitu sifat batin manusia yang mempengaruhi segenap pikiran dan tingkah laku atau kepribadian.
Aristoteles membedaan moral dengan pendidikan karakter. Moral adalah ajaran atau aturan tentang seperangkat nilai-nilai untuk membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Moral masih bersifat normatif berupa seperangkat aturan yang dijadikan acuan dalam pendidikan karakter.
Pendidikan Karakter menanamkan kebiasaan (Habituation) tentang hal yang baik sehingga siswa menjadi faham (domein kognitif) tentang mana yang benar dan mana yang salah. Mampu merasakan (domein afektif) tentang mana yang baik. Dan keinginan untuk melakukan (domein Psikomotor).
Pendidikan Karakter itu erat kaitannya dengan “habit” atau kebiasaan yang terus menerus dipraktikan dan dilakukan, bisa melahirkan kepribadian. Pendidikan karakter inilah yang bisa mengantar anak-anak kita menjadi sukses mulia. Tentunya melalui keteladanan, pesan mulia, dan pendampingan.
Pendidikan karakter adalah internalisasi nilai-nilai kelayakan yang dikawal dalam pembiasaan hingga melahirkan kepribadian yang mulia. Nilai-nilai kelayakan yang dijadikan teladan adalah sifat-sfat mulia rasulullah, yaitu siddiq, amanah, tablig, fathonah. Dalam rumusan nasional disebut dengan olah hati, olah rasa & karsa, olah raga, dan olah fikir.
Tujuan pendidikan karakter pada tingkat institusi mengarah pada pembentukan budaya sekolah, yaitu nilai-nilai yang melandasi perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian, dan simbol-simbol yang dipraktikkan oleh semua warga sekolah, dan masayarakat sekitar sekolah. Budaya sekolah merupakan ciri khas, karakter atau watak, dan citra sekolah tersebut di masyarakat luas.
C. Pola Pelaksanaan Pendidikan Karakter
Kemendiknas telah merancang ‘grand design’ pembelajaran pendidikan karakter. Itu yang harus dijadikan acuan. Acuan yang telah ditetapkan Kemendiknas terkait pendidikan karakter adalah pengelompokan konfigurasi karakter, yakni olahhati, olahpikir, olahraga, dan olahrasa-karsa.
Olahhati bermuara pada pengelolaan spiritual. Dalam agama dikenal sifat siddiq yang dimiliki oleh Rasulullah. Dalam pandangan psikologi dikenal spiritual quotion (SQ). Bagaimana membangun hubungan yang mesra dengan sang Kholik.
Olahpikir bermuara pada pengelolaan intelektual. Dalam agama dikenal sifat Fathonah yang dimiliki oleh Rasulullah. Dalam pandangan psikologi dikenal intellectual quotion (IQ). Bagaimana membangun kecintaan dengan ilmu pengetahuan. Membentuk manusia menjadi manusia pembelajar.
Olahrasa/Olahkarsa bermuara pada pengelolaan emosi dan kreativitas. Dalam agama dikenal sifat Tabligh yang dimiliki oleh Rasulullah. Dalam pandangan psikologi didikenal emotional quotion (EQ). Bagaimana membangun hubungan antar manusia dan mengolah daya kreatif menjadi hal yang perlu ditata sejak awal.
Olahraga bermuara pada pengelolaan fisik. Dalam agama dikenal sifat amanah yang dimiliki oleh Rasulullah. Dalam pandangan psikologi dikenal Adversity quotion (AQ). Bagaimana manusia bisa menjaga kesehatan sebagai amanah untuk bisa memakmurkan bumi ini. Tanpa fisik yang kuat, sulit memegang amanah sebagai kholifah di muka bumi. Selain itu mampu untuk mengubah hambatan menjadi peluang dengan fisik yang kuat.
Al-Azhar Kelapa Gading Surabaya tahun 2009 telah merumuskan pendidikan dengan empat pilar, yaitu robbaniyyah, insaniyyah, ilmiyyah, dan alamiyah. Empat pilar ini disinergikan dengan konsep yang telah ditetapkan oleh pemerintah.
Keempat konfigurasi penanaman pendidikan karakter tersebut dilaksanakan dengan serius oleh seluruh pemangku kepentingan. Di sekolah dilaksanakan melalui rancangan kegiatan pembelajaran dan tidak boleh melenceng dari acuan kemendiknas. Selain itu dibuat model budaya karakter dengan pendampingan yang serius. Di rumah, orang tua memiliki budaya karakter yang bisa dijadikan acuan. Begitu juga di masyarakat ikut bersinergi dalam membangun karakter anak. Ketika segi tiga emas ini bisa bersinergi dengan baik, maka apa yang menjadi keresahan semua pihak bisa diminimalisir. Rumah, sekolah, dan masyarakat memiliki perhatian yang sama dalam membangun masyarakat yang “Baldatun Thoyyibatun wa Robbun Ghofur”
Untuk memudahkan langkah pelaksanaan pendidikan karakter, maka ada langkah yang perlu dilakukan oleh sekolah. Meskipun pendidikan karakter ini bukan pelajaran khusus, tetapi ada kesempatan bagi seorang guru untuk melakukan pembinaan kepada anak dan pendampingan. Hal ini untuk melakukan pengawalan sehingga terbentuk pembiasaan dan terbangun karakter yang mulia.
1. Pemodelan / Keteladanan (Budaya Positif)
Dalam perkembangannya, setiap orang melalui tiga tahapan. Tahap pertama adalah masa tanam. Masa tanam ini berkisar antara usia 0 sampai 7 tahun. Tahap kedua adalah masa model. Masa model berkisar antara usia 7 sampai 14 tahun. Tahap ketiga adalah masa sosial. Masa sosial berkisar antara 14 sampai 21 tahun.
Tahap pertama dan kedua menjadi tahap yang paling menentukan. Pada masa tanam, anak-anak belum bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Apapun yang terekam di dalam fikiran itulah yang dikerjakan, tanpa menanyakan benar atau salah. Usia ini apa kata yang ada di sekelilingnya. Pembiasaan lingkungan keluarga akan menentukan perkembangan berikutnya.
Begitu juga di sekolah, peran guru cukup strategis.Tingkah laku dan ucapan guru menjadi perhatian bagi anak. Di saat inilah konsep-konsep itu akan tersimpan dalam memori jangka panjang anak. Bahkan terekam dan tersimpan di dalam alam bawah sadar anak.
Tahap kedua masa pemodelan. Anak-anak akan selalu mencari figur yang bisa dijadikan model. Awalnya akan melihat orang tua sebagai model. Selanjutnya anak juga akan mencari model dari guru. Di sinilah peran orang tua dan guru. Perilaku dan ucapan orang tua dan guru menjadi model bagi anak.
Ketika model tidak dijumpai di dalam rumah. Begitu juga, di sekolah anak tidak menemukan model dari seorang guru, maka anak akan mencari model di luar. Paling muda adalah model di TV, selebriti, baik penyanyi maupun aktor sinetron. Bahkan bisa juga model anak-anak yang ada di luar rumah.
Untuk lebih memudahkan dalam pengawalan dan pengamatan, maka sekolah dan rumah membuat budaya positif. Budaya sekolah mulai masuk hingga siswa pulang tertulis secara sistematis. Budaya itu berlaku untuk semua, tanpa kecuali. Begitu juga di rumah. Budaya ini yang menjalankan adalah pemimpin sekolah, kemudian guru, selanjutnya siswa. Begitu juga di rumah, orang tua yang memulai menjalankan budaya dan diikuti oleh anak.
2. Pesan Moral
Anak-anak tahu mana yang baik dan mana yang buruk tidak lepas dari pesan orang dewasa. Ketika pesan itu masuk ke dalam memori dan dihayati, kemudian diaplikasi, maka akan membentuk sebuah karakter. Pesan itu bisa terucap bisa juga tertulis. Perlu diketahui bahwa pesan yang mudah difisualkan lebih mengena dan lebih mudah tersimpan dalam waktu yang cukup panjang.
a. Pesan Terucap
Pesan yang terucap sering kali disampaikan oleh orang tua dan guru kepada anak. Pesan yang terucap bisa dalam bentuk masehat, bisa juga dalam bentuk kata bijak, bahkan bisa juga dalam bentuk cerita. Sekali lagi, ketika pesan terucap itu bisa digambarkan, bisa difisualkan, maka lebih mengena dan bisa tersimpan dalam memori jangka panjang.
b. Pesan Tertulis
Selain pesan terucap dari orang tua dan guru, bisa juga pesan itu dalam bentuk tulisan. Banyak sekolah yang memasang tulisan-tulisan bijak sebagai bentuk pesan moral kepada anak. Pesan tertulis yang dibaca secara berulang-ulang akan membentuk karakter mulia pada anak. Pesan tertulis juga bisa berupa buku cerita yang mengandung nilai moral.
3. Integrasi Kurikulum
Pendidikan karakter terintegrasi dalam semua mata pelajaran dan kegiatan pengembangan diri, baik yang terprogram melalui ekstra kurikuler maupun yang tidak terprogram. Setiap mata pelajaran selalu memasukkan indikator karakter. Hal ini bisa dilihat di dalam lesson plan. Begitu juga yang terkait dengan ekstra kurikuler dalam rangka membangun karakter siswa. Hal ini bisa dirumuskan bersama-sama agar bisa difahami oleh semua warga sekolah.
Karakter tidak membutuhkan biaya yang tinggi, tetapi dibutuhkan komintmen yang tinggi dari semua pemangku kepentingan. Pelaksanaan karakter dibutuhkan konsistensi, tentunya dengan sistem yang baik. Ketika semua mekanisme berjalan dengan baik, pendidikan karakter akan membuahkan kepribadian yang mulia.
Penulis:
Drs. Najib Sulhan, MA
No comments:
Post a Comment