Akhir bulan April telah dilaksanakan ujian nasional (UN). Ujian yang menjadi penentu kelulusan untuk siswa SMP dan SMA. Ujian inilah yang membuat kebanyakan orang tua ikut spot jantung. Bagaimana tidak, sekolah yang lamanya tiga tahun, harus ditentukan dalam empat atau lima hari. Anak yang tiga tahun di lembaga formal, jika tidak lulus harus berijazah nonformal. Ini sebuah kenyataan dalam dunia pendidikan.
Banyak cara yang dilakukan oleh guru maupun orang tua agar hasil ujiannya bisa lulus. Kegiatan bimbingan belajar yang tak henti-henti, try out berkali-kali, Bahkan ada pula yang menggunakan cara-cara tak terpuji. Misalnya dengan melakukan kecurangan yang sistematis, mulai dari kerja sama antar siswa sampai ada juga yang membuat tim sukses. Lebih mengerikan lagi di sebuah harian pagi ada orang tua dengan anaknya membeli soal. Begitu juga ada kepala sekolah mencuri soal. Semua dilakukan untuk mencapai kelulusan yang sempurna. Inikah yang diharapkan di dalam proses pendidikan di sekolah.
Di tengah hiruk pikuk problem amoral dan kekerasan remaja saat ini, sudah saatnya pendidikan kita berorientasi pada pembentukan karakter. Yaitu pendidikan yang dasar pemikirannya bertumpu pada nilai-nilai moral-spiritual. Pendidikan yang menjadikan anak sebagi subyek dan bukan obyek. Memang saat ini banyak yang berdalih bahwa apa yang dilakukan oleh orang tua dan guru adalah demi kepentingan anak-anak. Namun kenyataannya banyak yang bergeser menjadi "demi kepentingan sekolah dan orang tua" sehingga harus mengorbanka nilai-nilai moral-Spiritual.
Sekolah dan orang tua jangan sampai terjebak oleh sistem pendidikan saat ini. Unas hanyalah sebuah bentuk kebijakan pemerintah yang perlu direpon dengan baik tanpa harus mengorbankan nilai-nilai kejujuran, keteguhan, kegigihan, dan lainnya. Dengan model ujian smacam ini, secara psikologis anak-anak tertekan. Tidak heran jika banyak berita stres massal, kesurupan massal, dan perilaku kejiwaan lainnya. Semua itu muncul dari sebuah tekanan yang berlebihan yang muncul dari sekolah dan orang tua.
Sebenarnya pendidikan itu memiliki tujuan yang sangat mulia. Pendidikan itu merupakan pembentukan karakter yang terwujud dalam kesatuan esensial si subyek didik dengan perilaku dan sikap hidup yang dimilikinya. Karakter menjadi identitas yang mengatasi pengalaman seseorang. Dari kematangan karakter inilah, kualitas seorang pribadi diukur.
Pendidikan merupakan usaha sistematis dengan penuh kasih sayang untuk membangun peradaban bangsa. Pendidikan menjadi bermakna jika semua yang terkait memahami hakekat pendidikan itu sendiri. Banyak orang yang mengatasnamakan pendidikan tetapi justru melakukan penyimpangan dan gagal dalam menjalankan komitmen pendidikan. Mereka melihat pendidikan dalam rangka mengejar sukses materi tanpa disertai pemaknaan yang dalam. Pendidikan hanya sempit dengan berujung pada materi keduniaan, yaitu jabatan dan kekuasaan. Hingga tidak jarang orang yang menitipkan harga dirinya pada jabatan dan materi yang ada, namun nilai-nilai kepribadiannya rapuh.
Manusia sudah mulai gampang terombang-ambingkan situasi. Apapun yang dilakukan hanya untuk kepentingan sesaat, yang penting tujuan bisa tercapai. Idealisme luntur seketika oleh pengaruh yang menyeret pada kehidupan dunia yang menjanjikan. Tak peduli itu hanya sekedar fatamorgana atau apapun namanya. Pendidikan kita sudah mulai kehilangan karakter yang sesungguhnya.
Pendidikan yang sehat adalah yang secara sadar membantu anak didik bisa merasakan, menghayati, dan menghargai jenjang makna hidup dari yang bersifat fisikal sampai yang moral, estetikal, dan spiritual. Peradaban dunia selalu dibangun oleh tokoh-tokoh moral-spiritual, yang dihancurkan politisi dan teknokrat yang mabuk kekuasaan. Jika sistem pendidikan sudah mulai meninggalkan karakter, maka tidak menutup kemungkinan bahwa anak-anak kita yang sekarang masih duduk di bangku sekolah akan menjadi manusi sukses dengan harus menghilangkan kepribadian sebagai manusia yang bermartabat.
Tujuan pendidikan pada dasarnya adalah untuk pembentukan karakter yang terwujud dalam kesatuan esensial si subyek dengan perilaku dan sikap hidup yang dimilikinya. Karakter merupakan sesuatu yang mengualifikasi seorang pribadi. Karakter menjadi identitas yang mengatasi pengalaman seseorang yang selalu berubah. Dari kematangan karakter inilah, kualitas seorang pribadi diukur.
Pendidikan yang ada saat ini sudah mulai terjadi pergeseran. Karakter bukan lagi menjadi perbincangan yang serius dalam menata generasi ke depan. Karakter seolah-olah hanyalah menjadi pelengkap dan lipstik. Fokus utama yang menjadi bahan perbincangan adalah hasil akademik. Meskipun menjadi perdebatan pro-kontra, tetapi inilah yang sekarang menjadi perbincangan hangat.
Al-Qur’an mengingatkan kepada kita bahwa manusia memiliki karakter pembawaan. Kalau tidak baik yang jahat. Hal itu telah tertuang di dalam firman Allah SWT surat As-Sams: 8-10. "Maka Dia (Allah) mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kejahatan dan ketakwaan. Sungguh beruntung orang-orang yang menyucikan dirinya. Dan sungguh merugilah orang-orang yang mengotorinya."
Peringatan Allah ini mestinya kita perhatikan bersama. Bukankah anak-anak kita sejak lahir sudah membawa kecenderungan untuk selalu membawa nilai-nilai kebenaran, selalu mengilahkan Allah sejak di dalam kendungan. Namun begitu lahir ke dunia, lingkungan telah membentuknya. Sekolah jangan sampai kehilangan pendidikan karakter. Tentunya ini harus di dukung dengan orang tua. Relakah jika anak-anak kita menjadi pembohong, pendusta, dan melakukan tindakan tak terpuji demi tujuan sesaat yang belum tentu bisa menjamin kesuksesan anak-anak di dunia apalagi di akhirat.
No comments:
Post a Comment