Ada cerita dari penduduk yang tinggal di sekitar kepulauan Salomon, yang letaknya di Pasifik Selatan. Penduduk primitive ini memiliki kebiasaan meneriaki pohon dengan teriakan yang mematikan.
Ketika penduduk hendak memotong pohon yang memiliki akar kuat dan sulit untuk dipotong maka sebagian penduduk yang berani naik ke atas pohon kemudian berteriak sekuat-kuatnya dan memaki-maki pohon. Hal ini dilakukan sampai berjam-jam selama empat puluh hari. Sungguh menakjubkan, ternyata pohon yang diteriakin itu perlahan-lahan daunnya mongering, rontok, kemudian mati.
Sesuatu yang aneh, namun mereka telah membuktikan bahwa teriakan yang dilakukan kepada makhluk hidup, seperti pohon akan menyebabkan benda tersebut kehilangan rohnya.
Ada juga penelitian yang dilakukan oleh seorang ilmuwan dari .Jepang tentang air. Profesor ini meneliti dua air yang dimasukkan dalam sebuah tempat yang terpisah untuk dibekukan. Botol yang satu senantiasa didoakan sementara satunya diteriaki dengan kata-kata yang menghinakan. Subhanallah, ternyata setelah kedua air yang ada di dalam botol itu membeku, ternyata kristal airnya berbeda. Air dalam botol yang selalu didoakan itu bentuk kristalnya indah dan beraturan. Sementara kristal dalam air yang diteriaki dengan kata-kata yang menghinakan, berantakan dan tidak karuan.
Apa sebenarnya yang dapat dipetik dari cerita di atas? Ternyata kata-kata itu sangat berpengaruh. Setiap kali teriakan itu tertuju pada makhluk tertentu, maka berarti telah mematikan rohnya.
Bisa dibayangkan jika itu terjadi pada manusia. Teriakan orang tua kepada anaknya. Mungkin juga suami kepada istrinya, atau sebaliknya. Terkadang juga guru kepada muridnya. Bahkan bisa saja atasan kepada bawahannya.
Tanpa disadari teriakan itu kerap kali menyertai kita. Hal itu muncul ketika perasaan jengkel, marah, kecewa menghampiri. Orang tua ketika melihat anaknya sulit belajarnya, tiba-tiba muncul buah kata dari rasa jengkel. “Dasar bego, begini saja tidak bisa”. Kadang-kadang tidak cukup dengan suara keras. Masih diberi bonus ekspresi yang menyeramkan.
Begitu juga terkadang terjadi pada guru terhadap muridnya. Ketika muridnya sulit menerima pelajaran. Tak jarang ada kata keras muncul dari mulut seorang ibu. Itu semua pengaruh kejiwaan, yakni rasa jengkel dan kecewa. “Bagaimana kamu bisa pinter, mengerjakan seperti ini saja tidak bisa?”
Perlu diingat, jika pohon dan air saja menjadi hancur dan rohnya mati, apalagi manusia. Itu artinya, setiap kali kita berteriak, maka kita sudah mematikan orang yang kita cintai. Bisa saja anak kita. Bisa juga murid kita. Teriakan-teriakan itu hanyalah akan menjauhkan jiwa seseorang. Anak yang tadinya dekat dengan orang tua, guru yang tadinya dekat dengan siswanya hatinya akan semakin menjauh, meskipun secara fisik tampak begitu dekat.
Jika kita masih bisa berbicara dengan baik-baik, kenapa harus berteriak. Berteriak hanyalah untuk orang-orang yang memang berjauhan. Jangan sampai secara fisik kita dekat dengan saudara kita, anak kita, dan murid kita. Ternyata secara hati kita justru jauh dari mereka.
Untuk masalah ini, ada dua peringatan Allah yang ditujukan kepada manusia, khususnya di dalam mendidik anak. Surat An_nisa’ ayat 9 : “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang sekiranya meninggalkan anak-anak yang lemah di belakang mereka, maka hendaklah mereka bertaqwa kepada Allah dan hendaklah mengucapkan perkataan yang baik”. Allah juga mengingatkan di dalam surat Luqman ayat 19: “Dan sederhanalah dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara adalah suara keledai.”
Sebagai orang tua dan guru, semoga kita diberi kekuatan oleh Allah di dalam mendidik anak. Kita diberikan kesabaran terhadap godaan hati, kejengkelan, kecewa. Sehingga tidak sampai mengeluarkan kata-kata yang menyakitkan karena hal itu akan berakibat buruk bagi anak-anak kita.
No comments:
Post a Comment