Maukah kita dibandingkan dengan orang lain atau dibandingkan dengan saudara. Jawabannya pasti “Tidak”. Tidak seorangpun yang suka dibandingkan dengan orang lain. Begitu juga anak, tidak akan suka dibandingkan dengan anak lain, termasuk dengan saudaranya sendiri.
Mengapa kamu tidak seperti saudaramu?
Kalau kamu ingin pintar, lihat saja temanmu itu!
Kamu tidak pernah dapat nilai bagus, temanmu itu selalu nilainya bagus, mengapa
sih?
Kalau kamu ingin pintar, lihat saja temanmu itu!
Kamu tidak pernah dapat nilai bagus, temanmu itu selalu nilainya bagus, mengapa
sih?
Apa yang terjadi apabila orang tua selalu membuat perbandingan anaknya dengan saudara, atau dengan orang lain. Tentunya ini sangat membebani anak. Bahkan ini hanyalah akan memunculkan perasaan dendam, baik kepada teman maupun saudaranya. Bahkan memunculkan rasa kebencian kepada orang yang membandingkan. Lebih tragis lagi adalah awal tumbuhnya kebohongan pada anak.
Kalau mau jujur dan jeli, sejak kecil orang tua sudah bisa mengenali anak sendiri. Apa sebenarnya kecenderungan yang dimiliki oleh anak. Dari pengalaman itulah sebenarnya orang tua sudah tahu apa yang menjadi kelebihan anak. Untuk selanjutnya potensi itulah yang perlu dikembangkan. Kadang-kadang orang tua tidak menyadari bahwa anaknya telah menjadi dirinya saat ini, dengan berbagai potensi yang dimiliki. Namun keinginan orang tua agar anaknya menjadi orang lain, bahkan menjadi apa yang diharapkan orang tua.
Masih banyak yang beranggapan bahwa kecerdasan anak hanyalah nilai di bangku sekolah. Bahkan kesuksesan anak-anak nanti akan ditentukan oleh nilai ulangan. Sudah saatnya kita semua memperhatikan anak secara komprehensif. Tidak hanya pada satu hal saja. Jauhkan “Ego” pribadi orang tua dan tidak memaksakan anak secara berlebihan. Sampai-sampai membanding-bandingkan anaknya dengan orang lain dan saudaranya.
Perhatikan Surat Al-Fatihah yang disebut “sab’ul masaani, ummul qur’an”. Disebut “sab'ul masaani” karena tujuh ayat yang diulang-ulang dalam setiap solat. Sedangkan disebut “ummul qur’an” karena sebagai induk dari isi al-Qur’an. Termasuk di dalam mendidik anak pun kita bisa membuat analogi surat Al-Fatihah.
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang (1). Segala puji bagi Allah, tuhan penguasa alam semesta (2). Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang (3). Yang Menguasai Hari Pembalasan (4). Hanya kepada Engkaulah kami menyembah, dan hanya kepada Engkau pula kami mohon pertolongan (5). Tunjukkilah kami jalan yang lurus (6). Yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau beri nimat, bukan jalan orang-orang yang Engkau murkai, dan bukan pula jalan orang-orang yang sesat (7).”
Ada pelajaran yang bisa kita ambil pelajaran dalam mendidik anak dari surat Al-Fatihah. Ketika kita mohon kepada Allah, maka kita sampaikan sanjungan-sanjungan kepada Allah. Ayat 1 sampai 5 merupakan sanjungan kepada Allah. “Allah Maha Pengasih Penyayang, penguasa alam semesta, penguasa hari pembalasan, tempat menyembah dan mohon pertolongan”. Barulah pada ayat ke 5 sampai 7 kita bermohon kepada Allah.
Coba bandingkan, berapa kali kita memberikan penghargaan kepada anak, minimal memuji anak dibandingkan dengan kita memberikan hukuman atau menunjukkan kesalahan anak kita. Semakin diberi dorongan, ditunjukkan keunggulanhya, ia akan semakin termotivasi untuk melakukan yang terbaik. Sebaliknya, semakin disalahkan, maka semakin banyak pula anak akan melakukan kesalahan.
Alangkah indahnya jika hal ini bisa diterapkan ketika mendidik anak. Setiap anak pasti memiliki kelebihan dan kelebihan itulah yang disampaikan kepada anak terlebih dahulu. Berikan pengertian kepada anak, berikan dorongan, dan berikan pujian untuk anak. Dengan memahami, memberikan dorongan, dan pujian, insya-allah apa yang menjadi kelebihan anak akan terus dipelihara karena anak sudah termotifasi. Bahkan talenta yang dimiliki akan dikembangkan. Selanjutnya sambil mencari kelebihan yang lain. Bukan sebaliknya, orang tua hanya mencela terhadap kesalahan-kesalahan anak. Mencela dan mencari-cari kesalahan hanyalah akan mengukuhkan kelemahan anak. Ini sangat berakibat buruk bagi anak.
Ada sebuah kalimat bijak yang disampaikan oleh Dorothy Low Nolte. “Jika anak banyak dicela, ia akan terbiasa menyalahkan. Jika ia banyak dimusuhi, ia akan terbiasa menentang. Jika anak dikelilingi olok-olok, ia akan menjadi minder. Jika anak serba dimengerti, ia akan terbiasa menjadi penyabar. Jika anak diberi dorongan, ia akan terbiasa percaya diri. Jika anak banyak dipuji, ia akan terbiasa percaya diri.”Ketika ingin membandingkan anak, maka bukan dengan orang lain juga bukan dengan saudara. Bandingkan anak itu dengan dirinya sendiri, bagaimana yang dulu dengan sekarang. Jika anak ada perubahan ke arah positif, maka sesungguhnya nilai yang baik bagi anak. Sebaliknya jika anak mengalami perubahan ke arah yang negative, maka arahkan agar hal itu tidak terjadi.
No comments:
Post a Comment