Berbagai bentuk sekolah muncul dengan “Brand” yang bermacam-macam. Ada sekolah yang berbasis IT. Ada juga sekolah yang berbasis tauhid. Aja juga sekolahyang diberi nama sekolah “kreatif”, sekolah “terampil” Bahkan ada pula sekolah yang hanya mengandalkan hasil ujian nasional atau sering disebut dengan sekolah berbasis unas.
Dari model yang digagas itu sengaja setiap sekolah menjual nama “Brand image”. Hendak di bawa ke mana sekolah ini. Atau apa yang menjadi kekuatan atau kelebihan bagi sekolah ini. Sekolah yang berbasis IT tentunya lebih menonjolkan IT sebagai penguat sekolah. Semua informasi ke orang tua, bahkan pembelajaran, melalui pendekatan IT. Sementara sekolah yang berbasis tauhid, lebih banyak pada pendekatan spiritual.
Sejak digulirkannya Ujian Nasional untuk SMP dan SMA serta Ujian Akhir sekolah Berstandar Nasional (UASBN), banyak sekolah mendisain sekolah berbasis Ujian Nasional. Semua pendekatan pembelajaran mengarah pada hasil ujian akhir. Ranah kognitif menjadi vokus utama. Sementara untuk afektif dan psikomotor terabaikan. Hal ini telah memunculkan berbagai polimek dalam pendidikan.
Lebih tragis lagi, tidak jarang sekolah keluar dari koridor yang sesungguhnya dalam mendidik anak. Berbagai cara dilakukan agar hasil unasnya bisa tercapai maksimal, 100% dengan hasil terbaik. Praktik kecurangan dilakukan untuk membangun kepercayaan ke masyarakat bahwa sekolah ini menghasilkan lulusan yang terbaik. Sampai-sampai muncul berbagai kasus, ada yang mencuri soal, ada yang memberikan jawaban di kamar mandi, ada yang mengirimkan SMS, bahkan ada yang melakukan kerjasama begitu rapi. Guru membuat kunci jawaban kemudian diberikan kepada anak yang duduk di depan dan selanjutnya lembar jawaban diangkat supaya bisa ditiru oleh siswa yang di belakangnya. Jika praktik seperti ini sudah dimulai sejak di SD. Kita bisa membayangkan, bagaimana pendidikan kita jika hal ini terus dilakukan? Bisa-bisa Indonesia akan meluluskan lulusan pembohong. Mudah-mudahan itu tidak terjadi.
Berawal dari realita ini, kami mencoba untuk menggagas “Sekolah Berbasis Barakater”. Kami sangat menyadari bahwa Ujian Nasional meskipun mengundang pro dan kontra, tapi ini realita yang sudah menjadi bagian dari system pendidikan di Indonesia. Dengan tujuan agar kualitas pendidikan di Indonesia meningkat. Untuk menjawab ini semua, para petinggi pendidikan yang bisa menjawab dengan realita yang ada sekarang ini.
“Sekolah Berbasis Karakter” kami gagas sejak bulan Januari 2007. konsep ini kami terapkan di Al-Azhar Kelapa Gading Surabaya. Konsep yang berbentuk buku ini telah diberi komentar oleh Mendiknas, Prof. Dr. H. Bambang Sudibyo, Kepala Dinas Pendidikan Jawa Timur, Dr. Rasiyo, Ketua Dewan Pendidikan Jawa Timur, Dr. Daniel M. Rasyid. Rektor ITS Prof. Ir. Priyo Suprobo, MS., Ph.D Dan masih banyak lagi komentar dari para tokoh pendidikan di Jawa Timur.
Di dalam Buku ini kami berusaha memberikan solusi terhadap masalah yang muncul dalam dunia pendidikan, terutama menyiapkan anak-anak didik menjadi anak-anak yang memiliki kepribadian utuh. Selain tetap pada system yang berjalan, kepribadian anak serta idealisme guru tetap terjaga. Saya tidak berharap dengan adanya sistyem yang ada ini, menghapus berbagai potensi yang sudah dimiliki anak. Sehingga terjadi pembunuhan karakter sejak dini atas nama pendidikan. Lebih jauh lagi, kita semua harus tetap menjaga karakter anak, jangan sampai kejujuran mereka ternoda dengan kebohongan-kebohongan untuk tujuan sesaat.
Kami menuangkan konsep pendidikan yang bertumpu pada sifat dasar manusia dengan menggunakan tiga pilar utama. Pertama, setiap manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah, yaitu memiliki kecenderungan berbuat baik. Untuk itulah sifat Rasulullah Muhammad SAW menjadi tauladan yang harus dibudayakan dalam kehidupan sehari-hari agar fitrah itu terus terjaga. Jangan sampai karena tujuan sesaat itu merusak fitrah manusia. Terutama anak-anak kita. Pilar pertama ini adalah pembentukan moral. Kedua, setiap anak cerdas. Artinya, tidak ada anak yang bodoh, semua anak memiliki kecerdasan yang berbeda-beda. Untuk itulah kecerdasan yang berbeda itu perlu dikembangkan sesuai dengan potensinya. Pilar kedua adalah pengembangan kecerdasan majemuk. Ketiga, setiap aktifitas mempunyai tujuan, begitu pula dalam pembelajaran. Untuk itu setiap pembelajaran lebih ditekankan pada kebermaknaan pembelajaran. Apa artinya anak sekolah apabila tidak memiliki makna buat anak itu serta ke depan untuk membangun bangsa yang bermoral dan berwibawa. Untuk itulah berbagai pendekatan yang mampu menggugah anak untuk belajar mandiri dalam mencapai tujuannya. Kami berusaha mendekatkan antara output dan outcome.
Dalam memahami tiga pilar yang ada, sekolah tidak bisa melangkah sendiri. Ketiga pilar itu perlu dukungan dari orang tua. Antara sekolah dengan orang tua saling memberikan dukungan. Dengan demikian akan terwujud sebuah harapan. Dan semua itu tidak lepas dari rasa tanggung jawab yang kuat dan kerja keras untuk tujuan membangun karakter anak bangsa. “Sekolah Berbasis Karakter” ini bisa diterapkan oleh siapa saja. Sebagaimana saran Dr. Rasiyo agar konsep ini bukan untuk kalangan tertentu, tetapi semua kalangan bisa melaksanakan. Ada beberapa langkah yang bisa diterapkan dalam konsep ini.
Pilar pertama: Pembentukan Moral
Pada pilar pertama ini penekananya pada pembiasaan dan pendampingan. Ada langkah-langkah untuk pembiasaan dan pendampingan: Pertama, memasukkan konsep moral pada setiap kegiatan pembelajaran dengan cara: a) Menanamkan nilai kebaikan kepada anak (Knowing the good), b) Menggunakan cara yang membuat anak memiliki alasan atau keinginan untuk berbuat baik (Desiring the good), c) Mengembangkan sikap mencintai perbuatan baik (Loving the good), d) Senantiasa melaksanakan perbuatan baik (Acting the good). Kedua, membuat slogan-sloga yang mampu menumbuhkan kebiasaan baik dalam segala tingkah laku masyarakat sekolah. Ketiga, pemantauan secara kontinyu atau pendampingan guru setiap saat. Pemantauan ini meliputi tiga hal, khususnya dalam soft competence, yaitu perilaku, kosep diri anak, dan motivasi. Keempat, pendampingan orang tua di rumah dengan memberikan penilaian terhadap perilaku anak di rumah. Selanjutnya dikonsultasikan dengan guru di sekolah.
Pilar kedua: Pengembangan Kecerdasan Majemuk
Setiap anak memiliki kecerdasan. Dengan kata lain, tidak ada anak yang bodoh. Profesor Howard Gardner dalam sebuah penelitiannya menyatakan bahwa ada minimal 9 kecerdasan yang dimiliki oleh anak. Hal ini memberikan peluang kepada setiap manusia untuk mengembangkan setiap kecerdasan yang dimilikinya. Sembilan kecerdasan itu adalah, kecerdasan spiritual, linguistic, logis-matematik, visual-spasial, kinestetik-jasmaniah, musical, interpersonal, intrapersonal, dan natural.
Dengan mengembangkan kecerdasan majemuk di sekolah, maka seorang guru bisa mengetahui gaya belajar anak sesuai dengan kecerdasan yang dimiliki oleh anak sehingga guru juga bisa menyesuaikan dengan gaya mengajarnya. Selain itu, guru bisa mengembangkan potensi kecerdasan yang telah dimiliki sebagai benih awal untuk mengarah pada puncak prestasi dan kesuksesan anak. Hal ini dilakukan bersama orang tua.
Selama ini masih banyak orang yang terpaku pada tes IQ yang telah dikembangkan oleh Binnet. Hal inilah yang sering membuat orang tua resah. Dengan hasil tes IQ yang tidak menguntungkan seolah-olah sudah suramlah masa depan anak. Sejak Daniel Goelman menginformasikan hasil penelitiannya, bahwa kesuksesan anak 20% ditentukan oleh IQ sementara 80% ditentukan oleh Emotional Quotient (EQ) dan Spiritual Quotient (SQ), maka ini dapat mengurangi keresahan orang tua.
Pilar Ketiga: Kebermaknaan Pembelajaran
Sekolah haruslah bermakna bagi siswa dan lingkungannya. Apa artinya anak ke sekolah jika tidak memberikan manfaat. Banyak waktu yang dihabiskan oleh anak di sekolah tetapi tidak mendapatkan apa-apa sehingga tidak jarang anak-anak merasa bosan di sekolah dan akhirnya malas ke sekolah.
Untuk mewujudkan agar pembelajaran memiliki kebermaknaan, maka ada langkah-langkah yang strategis untuk dilakukan oleh sekolah atau guru. Pertama, sekolah melihat kebutuhan anak dan masyarakat. Kedua, setiap guru menentukan tujuan materi yang diajarkan kepada anak. Ada dua tujuan dalam proses pembelajaran, pertama higt base education, pendidikan yang berorientasi pada kejenjangan. Lulusan memiliki nilai yang baik sehingga bisa memilih sekolah yang diharapkan. Kedua, broad base education, pendidikan yang berorientasi pada kecakapan hidup. High base education akan menghasilkan output yang baik dan broad base education akan menghasilkan outcome yang berkualitas. Kami mencoba mendekatkan antara output dengan outcome.