Sunday, September 18, 2011

Selamatkan Anak-Anak Kita!

Maraknya pornoaksi, pornografi, korupsi, tawuran antar pelajar, bentrok warga. Ditambah lagi memudarnya nilai kejujuran, hilangnya kesabaran dan daya juang, melemahnya tanggung jawab dan kemandirian anak membuat kita hawatir terhadap generasi mendatang. Ini pula yang dihawatirkan oleh pemerintah terhadap masa depan bangsa ini.
Disinyalir, carut marutnya persoalan di negeri ini disebabkan melemahnya pendidikan karakter:Pendiri Negara , Presiden Soekaro, pernah berpesan bahwa tugas bangsa Indonesia dalam mengisi kemerdekaan adalah mengutamakan pelaksanaan nation and character building. Bahkan beliau wanti-wanti, “Jika pembangunan karakter bangsa tidak berhasil, maka bangsa Indonesia akan menjadi bangsa kuli.”
Pemerintah, sejak tahun 2010 telah mencanangkan pendidikan karakter. Diharapkan tahun 2012 ada 25% sekolah di Indonesia sudah menerapkan pendidikan karakter dan untuk tahun 2015 seluruh sekolah di Indonesia bisa mengembangkan sekolah karakter.
Buku “Pendidikan Berbasis Karakter” yang pernah diseminarkan bersama Prof. Dr. Ir. M. Nuh, DEA, (Menteri Pendidikan Nasional) semoga bisa membantu sekolah dalam mengembangkan sekolah karakter. Apalagi dilengkapi dengan buku “Panduan Praktis: Pengembangan Karakter dan Budaya Bangsa”.
Pendidikan karakter tidak hanya dilakukan di sekolah, hanya dilakukan oleh guru. Akan tetapi harus bersinergi dengan rumah, yaitu orang tua dan masyarakat. Pendidikan karakter menjadi tanggung jawab bersama Ketika guru, orang tua, dan masyarakat mampu bersinergi dan memiliki komitmen untuk membangun pendidikan karakter, maka hasilnya akan lebih efektif.
Minimal ada empat hal yang perlu disiapkan di dalam pendidikan karakter:
1) Ada budaya sekolah yang bisa bersinergi dengan budaya rumah dan masyarakat.
2) Pendidikan karakter diintegrasikan di dalam semua mata pelajaran, tentunya ada indikator yang jelas.
3) Pendidikan karakter diintegrasikan di dalam kegiatan pengembangan diri di sekolah.
4) Ada pesan moral, baik yang terucap maupun yang tertulis.
Pada akhirnya akan melahirkan generasi yang tangguh, yang yang memiliki kepribadian unggul dan berkarakter.
Buku Referensi di bawah ini bisa membantu Bapak/Ibu guru untuk mendesign sekolah karakter. Begitu juga untuk pendampingan orang tua di rumah, dan remaja yang ingin hidup sukses.
1. Pendidikan Berbasis Karakter: Sinergi Sekolah dengan Rumah
Tebal buku 184 halaman, harga Rp. 44.000.
2. Panduan Praktis Pengembangan Karakter dan Budaya Bangsa : Sinergi Sekolah dengan rumah
Tebal buku 136 halaman, harga Rp. 33.000.
3. Karakter Guru Masa Depan : Sukses dan Bermartabat
Tebal buku 218 halaman, harga Rp. 44.000.
4. Anakku Penyejuk Jiwaku : Pola Pengasuhan Islami untuk Membangun Karakter Positif Anak. (Referensi untuk orang tua)
Tebal buku 200 halaman, harga Rp. 39.000.
5. Spirit Remaja : Inspirasi Kawula Muda Dambakan Hidup Sukses (Referensi remaja)
Tebal buku 212 halaman, harga Rp. 44.000.

Wednesday, September 14, 2011

Buku Karakter Baru













































































Anak-anak Kehilangan Figur Panutan

Fenomena yang terjadi di sekitar kita cukup memprihatinkan. Saat ini Kejujuran menjadi barang yang mahal. Kesabaran sulit untuk dicari. Nurani begitu mudah disulut oleh emosi. Masyarakat begitu mudahnya diadu domba. Di arena olahraga kehilangan sportifitas, hingga yang kalah murka dan terjadi amuk masa.
Dekadensi moral tampak nyata di depan mata. Rasa hormat anak kepada orang tua telah memudar. Jaring narkoba tertata begitu rapi, dari jaringan internasional hingga di lingkungan sekolah. Pornografi dan pornoaksi mudah dilihat dan sering dijadikan panduan bagi kalangan remaja. Kini pengaruh globalisasi menjadi tak terbendung lagi.
Dalam data komnas perlindungan anak didapatkan, bahwa perilaku anak cukup memprihatinkan dan sudah masuk pada wilayah emergency. Menurut data yang dikutip dari Media Indonesia 18 Januari disebutkan bahwa pengakuan remaja di kota besar dalam berhubungan seks pranikah sebagi berikut: 62,7% remaja pernah melakukan, 21,2% remaja pernah aborsi, 93,7% remaja pernah berciuman dan oral seks, 97,0% remaja pernah nonton video porno.
Di sisi lain, narkoba juga menjadi persoalan yang cukup serius untuk ditangani. Dari data Badan Narkotika Nasional (BNN) ada sekitar 3.600.000 jumlah pengguna narkoba di Indonesia. Dari jumlah itu, 41% adalah pengguna pemula, yaitu usia 14 sampai 18 tahun (Republika online, 26/06/2010).
Ketika melihat fenomena yang terjadi saat ini, sebagai orang tua kita mengelus dada. Muncul kehawatiran terhadap perilaku anak yang sudah jauh dari fithrah. Keresahan orang tua ini juga dirasakan oleh pemerintah. Hal ini tampak dengan bergulirnya pendidikan karakter sebagai bentuk kebijakan kemendiknas untuk mengantisipasi perilaku anak. Dalam sebuah seminar Bapak Prof. Dr. Ir. M. Nuh, DEA (Mendiknas) mengatakan agar pendidikan karakter segera dilaksanakan. Bahkan pendidikan karakter menjadi program utama yang melibatkan 16 kemeterian.
Persoalan ini perlu dikembalikan pada porsi yang sebenarnya. Sesungguhnya Allah menciptakan manusia dengan potensi utuh. Selain memiliki fithrah (kecenderungan untuk meng-Ilahkan Allah), setiap manusia juga diberi potensi kecerdasan. Allah berfirman di dalam surat Al-A’raf ayat 172: “Dan Ingatlah, ketika tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari Sulbi mereka, dan Allah mengambil persaksian terhadap jiwa mereka (seraya Berfirman): Bukankan Aku ini Tuhanmu? Mereka menjawab: Betul, Engkaulah Tuhan kami, kami menjadi saksi.” Ayat ini menunjukkan bahwa setiap anak fithrah, yaitu cenderung untuk meng-Ilahkan Allah.
Setiap manusia yang terlahir ke dunia sudah dimodali kecerdasan. Sekitar 10 sampai 15 milyar sel otak yang aktif sudah diberikan begitu manusia lahir. Selain itu manusia dilengkapi dengan pendengaran, penglihatan, dan hati untuk memacu perkembangan otak. Sebagaimana firman Allah surat An-Nahl ayat 78: ”Dan Allah mengeluarkan dari perut ibumu, sedang kamu tidak tahu sesuatu apapun. Lalu diberi-Nya pendengaran, penglihatan, dan hati, semoga kamu menjadi orang yang bersyukur.”
Cukuplah bagi kita dengan dua dasar dalil naqli di atas. Meskipun kalau kita mau terus menggali dasar yang lain akan lebih menguatkan kita bahwa anak-anak kita memiliki potensi yang dahsyat. Anak-anak kita begitu lugu dan polos, jujur dan berani. Tapi mengapa tiba-tiba ketika menginjak remaja dan dewasa berubah begitu drastis hingga membuat agenda permasalah bagi kita selaku orang tua.
Salahkah anak-anak kita? Layakkah anak-anak kita untuk dipersalahkan terus menerus tanpa ada introspeksi dari kita selaku orang tua? Kiranya kurang bijak jika kita selaku orang tua hanya menyalahkan anak-anak. Bukankah yang mengubah kesucian anak, perilaku anak adalah orang tua. Rasulullah telah megingatkan kepada kita, ” Setiap manusia dilahirkan dalam keadaan suci, maka orang tualah yang menjadikan yahudi, nasrani, atau majusi.”
Sesungguhnya anak-anak kita saat ini telah kehilangan figur panutan. Lalu kepada siapakah mereka akan melihat sosok yang bisa dicontoh. Informasi negatif jauh lebih banyak terekam di dalam diri anak daripada yang positif. Baik itu informasi yang dilihat maupun yang didengar. Sementara kita tahu bahwa pendengaran dan penglihatan adalah pintu masuknya informasi.
Suguhan tayangan televisi misalnya, telah membuyarkan konsep tentang nilai-nilai kebenaran. Lebih dari 60% tayangan televisi menyajikan hiburan yang banyak menyesatkan. Baik mengenai pornografi, pornoaksi, mistik, gaya hidup, dll. Sementara televisi ada di setiap rumah dan kini bukan menjadi barang mewah.
Kebohongan banyak diselamatkan atas nama golongan dan politik. Sementara kejujuran digadaikan untuk menjaga kehormatan dan kepentingan bagi kelompok-kelompok tertentu. Kasus SDN Gadel Surabaya misalnya, menjadi potret simbul ketidakjujuran nasional. Anak-anak dibimbing untuk tidak jujur oleh guru yang mestinya digugu dan ditiru. Begitu juga di rumah, anak-anak sering diberi contoh yang tidak selayaknya oleh orang tua.Saat ini mulai ada kecenderungan orang tua menyekolahkan putra-putrinya di pesantren. Tentunya ini sangat beralasan dengan kasus yang melanda bangsa ini. Kehawatiran orang tua tidaklah berlebihan. Orang tua lebih suka mencari model boarding school. Tinggal bagaimana respon pesantren terhadap kebutuhan orang tua seperti ini? Apakah seperti sekolah-sekolah biasa lainnya, ataukah ingin memiliki keunggulan nyata untuk menyelamatkan anak dan bangsa tercinta ini

Dimuat di Suara Maskumambang
September 2011