Monday, April 27, 2009

Guru dan Siswa TK Al-Azhar Kelapa Gading Surabaya Memborong Juara

Tanggal 25 April 2009 IGTKI bersama UPTD BPS Kecamatan Mulyorejo mengadakan seleksi lomba untuk Hari Anak Nasional. Kegiatan yang diikuti sekitar 1000 peserta dari 47 TK di Kecamatan Mulyorejo diselenggarakan di Perguruan Islam Al-Azhar Kelapa Gading Surabaya. Ada 8 cabang lomba yang diperebutkan di dalam kegiatan HAN tersebut. Lomba menyanyi tunggal, nyanyi bersama, percakapan, tari, mewarna, melempar, dan menyanyi sambil bermain. Menurut panitia, tempatnya sangat representatif. Selain semua ruang yang dibutuhkan tersedia juga ada lapangan yang luas untuk arena olahraga. Sangat memungkinkan dipenuhi sekitar 2000 orang, baik peserta, guru pendamping, maupun orang tua. Kegiatan ini juga diliput oleh Radar Surabaya.

Alhamdulillah, pembinaan yang selama ini dilakukan membuahkan hasil. Dari 8 cabang yang dilombakan, TK Islam Al-Azhar Kelapa Gading Surabaya mendapat 6 piala (juara umum). Juara 1 menyanyi bersama, juara 1 percakapan, juara 1 melempar, juara 2 tari, juara 2 menyanyi tunggal, dan juara 3 percakapan.

Acara yang setingkat kecamatan itu dimeriahkan berbagai kesenian siswa SD Al-Azhar Kelapa Gading Surabaya. Ada drummer cilik Renno Daffa, kelas 3 SD yang juara 1 Jawa Timur. Ada juga penyanyi cilik Putri Diyanah Mahdiyah (Dea) yang telah mengeluarkan lima album. Ada juga seni patrol yang juara kota Surabaya. Begitu juga band putri kelas 5 dan musik ansambel juga ikut ambil bagian dalam acara HAN Kecamatan Mulyorejo.

Sebelumnya berbagai prestasi telah diukir oleh siswa TK. Tanggal 23 membawa 3 piala dari Maspion Square dalam acara Preschool Festival 2009. Juara 1 Reading in English, juara 1 dan 2 Puisi “Guru Idolaku”. Tanggal 14 April di Perpustakaan Universitas Airlangga mendapat juara 3 lomba bercerita. Tanggal 18 April di Al-Khoiriyah mendapat juara 1 dan 3 untuk lomba Puzzle Komputer dan juara 1 lomba menyanyi bersama. Tanggal 19 April di Al-Muttaqin mengikuti lomba hafalan surat pendek, Alhamdulillah untuk juara 1 sampai 3 diborong oleh anak TK Islam Al-Azhar Kelapa Gading Surabaya. Tanggal 18 April 2009, ditunjuk UPTD BPS Mulyorejo untuk mewakili Mulyorejo ke Dinas Pendidikan Kota Surabaya dalam lomba menyanyi tunggal. Alhamdulillah bisa juara 3.

Bersamaan dengan berbagai kejuaraan untuk anak TK, tanggal 23 April 2009 guru TK juga berpretasi menjadi juara 1 lomba baca puisi, juara 2 guru berprestasi, dan juara 3 menyanyi. Sebelumnya kepala sekolah dan guru sudah mewakili sebagai kepala sekolah dan guru PAUD berprestasi kecamatan Mulyorejo. Untuk kategori Kepala Sekolah berprestasi, mendapat juara 3 dan guru PAUD, mendapat juara 2 Tingkat Kota Surabaya. Semoga prestasi yang baik ini bisa ditingkatkan lagi.

Sunday, April 19, 2009

Anak Perlu Dilatih Menyelesaikan Masalah

Setiap orang tua sangat berharap memiliki anak yang solih-solihah, penyejuk mata (qurrota a’yun), dan mandiri, siap meminpin orang lain dan diri sendiri. Bahkan setiap hari orang tua minta kepada Allah melalui do’a. Sebagaimana firman Allah Surat Al-Furqon ayat 74, yang artinya: "Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan anak-anak kami sebagai penyejuk mata dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertaqwa."
Harapan yang setiap hari dilafalkan lewat doa seringkali tidak diikuti dengan perilaku yang baik kepada anak-anak kita. Banyak kesalahan yang dilakukan oleh orang tua bukan karena orang tua tidak sayang. Justru karena sayangnya kelewatan, banyak orang tua melakukan kesalahan. Anak mau melakukan ini tidak oleh mau begitu tidak boleh. Anak selalu dihindari dari masalah yang mestinya bisa dijadikan sebagai pengalaman masa kecil anak.

Orang tua berharap anaknya memiliki kemandirian, namun sejak kecil anak tidak boleh berhadapan dengan masalah. Menghadapi masalah sedikit saja orang tua sudah harus memberikan perlindungan yang berlebihan. Bahkan ada kecenderungan orang tua tidak mau direpotkan, yang penting anaknya tidak menghadapi masalah, aman dari persoalan.
Ketika melihat anak menangis minta sesuatu, orang tua segera memberikan, meskipun itu belum perlu. Ketika melihat anaknya belajar berjalan dan terjatuh, orang tua segera menolong tanpa diberi motivasi untuk mencoba melangkah lagi. Hal ini tampak karena orang tua begitu sayang kepada anak.Takut jika anaknya terluka. Orang tua tidak menginginkan anaknya menangis karena ada masalah. Maunya orang tua ingin segera membantu.
Dunia anak memang dunia bermain, baik itu di sekolah maupun di rumah. Dalam permainan itu, anak mulai berhadapan dengan keberagaman teman. Ada yang pendiam, ada yang jail, bahkan ada yang suka mengganggu. Menghadapi masalah seperti ini terkadang orang tua kurang memberikan apresiasi. Maunya si anak harus berteman dengan yang aman-aman saja, anak yang pendiam, anak yang pintar. Lebih parahnya, ketika anak mengalami masalah dengan temannya, justru orang tua yang mengambil inisiatif untuk membantu.
Sekali lagi, kesalahan orang tua terhadap anak bukan karena tidak sayang, tetapi kelewatan sayang. Anak tidak diberi kesempatan untuk menyelesaikan masalahnya. Dengan bahasa lain orang tua tidak tega jika anaknya harus bersusah-susah menyelesaikan masalah.
Orang tua pasti ingin anaknya menjadi pemenang dan tidak mau anaknya menjadi pecundang. Namun dengan perlakukan yang berlebihan seperti ini (over protectif) maka sangat memungkinkan anak hanya akan menjadi pemenang di rumah, tetapi sebaliknya jika di luar rumah, anak akan menjadi pecundang. Setiap ada masalah selalu minta tolong karena tidak bisa menjadi problem solver justru yang sering anak hanya sebagai problem maker.
Apapun yang dikehendaki oleh anak akan terpenuhi. Anak tidak memiliki kemampuan untuk menyelesaikan masalah. Semua masalah yang dihadapi oleh anak sudah diambil alih oleh orang tua. Anak selalu merasa aman dan nyaman di samping orang tua. Seolah-olah tidak ada orang lain yang berhak mengganggu dirinya selama masih ada orang tua. Jika hal ini terjadi terus menerus, maka kelak dewasa anak sulit berperilaku mandiri.
Keinginan orang tua bisa terwujud jika orang tua mau menahan diri. Memberikan kesempatan kepada anak untuk belajar menyelasaikan masalahnya sendiri. Sebenarnya masalah yang dihadapi oleh anak-anak tidak terlalu rumit. Insya-Allah anak-anak mampu menyelesikan masalahnya sendiri. Orang tua cukup memberikan motivasi untuk bisa menghadapi setiap masalah anak dengan tenang. Bukan orang tua yang mengambil alih agar anaknya bisa terhindar dari masalah.
Berdasarkan pengalaman yang ada di masyarakat, banyak orang sukses yang kehidupannya ditempa melalui pengalaman hidup sejak kecil. Merekalah yang mampu memenangkan persaingan di dunia nyata. Anak yang sejak kecil sering berhadapan dengan masalah dan diajari untuk menyelesaikan masalah, dialah yang akan memiliki kekayaan luas terhadap problem yang dihadapi dan tahu cara menyelesaikannya. Akhirnya, dia akan menjadi problem solver.
Pengalaman hidup adalah hal yang sangat berharga untuk kemudian hari. Ibarat seorang dokter yang sering menghadapi pasien, maka dokter tersebut akan banyak memiliki pengalaman. Begitu juga seorang guru yang sering menghadapi broblem di kelas, maka dengan pengalaman itu, akan banyak langkah yang diperoleh untuk menyelesaikan masalah, asalkan guru itu tidak mudah mengeluh.
Rasulullah Muhammad SAW mempunyai pengalaman hidup yang cukup berat. Ketika dilahirkan, tidak bertemu dengan ayah. Ketika usia enam tahun ditinggal oleh ibu. Dengan kondisi yang cukup berat itu, Muhammad mampu menghadapi permasalahan dengan baik. Akhirnya beliau tampil sebagai pemimpin yang paling berpengaruh.
Insya Allah kita semua berharap anak kita menjadi anak yang tangguh. Anak yang siap menghadapi tantangan hari esok yang lebih berat. Untuk itu, berikan kesempatan kepada anak-anak kita untuk belajar menyelesaikan masalah yang dihadapi. Biarkan anak kita bertemu dengan keragaman masalah. Namun demikian, ajarilah untuk menyelesaikan masalah dan bukan mengambil alih masalah. Dengan demikian, insya-Allah kita akan menemukan anak-anak kita yang tanggung dan siap menghadapi masalah dan menjadi pemimpin masa depan. Amin.

Sumber Kasih Sayang dan Cinta Ada di Rumah

Ada sebuah kata bijak yang disampaikan oleh Ma’ruf Musthafa Zurayq, Guru besar pendidikan dan psikologi Universitas Dar al-Muallimin Dasamkus, ”Jika cinta tidak diajarkan di rumah, hampir tidak masuk akal untuk mempelajarinya di manapun.” Kalimat ini menjadi kata kunci kita sebagai orang tua dalam membangun kasing sayang antar sesama. Dan itu bermula dari lingkungan keluarga.

Tidaklah berlebihan jika rumah menjadi sumber kasih sayang dan cinta. Di rumah inilah seorang anak akan menerima kasih sayang dan cinta. Di rumah inilah anak akan melihat proses kasih sayang antar sesama di bangun. Perilaku anak muncul dari kasih sayang yang diterima oleh orang-orang terdekatnya, dialah orang tua, ayah dan ibu. Penerimaan orang tua terhadap kehadiran sang anak menjadi penguat anak dalam melangkahkan kaki.

Kedekatan anak dengan orang tua ditentukan oleh kasih sayang dan cinta. Jika orang tua memberikan perhatian dan kasih sayang, maka anak akan memiliki kasih sayang kepada orang tua. Sebaliknya, jika kasih sayang dan cinta yang dibangunorang oleh orang tua rapuh, maka ini awal dari kerenggangan anak dengan orang tua.

Kasih sayang dan cinta orang tua terhadap anak banyak terlihat di dalam komunikasi. Meskipun materi yang diberikan kepada anak tidak kurang, bahkan berlebihan, tetapi komunikasi yang dibangun tidak mencerminkan cinta kasih, maka semua itu tidak ada arti.

Komunikasi bukan persoalan yang kecil dalam membina keharmonisan rumah tangga. Komunikasi sebagai kata kunci dalam membentuk prilaku kasih sayang dan cinta. Baik itu komunikasi verbal maupun komunikasi non verbal. Dengan komunikasi yang baik akan terbentuk hubungan yang baik antar sesama. Sebaliknya, meskipun mempunyai tujuan yang baik, tetapi cara komunikasi yang kurang baik akan berakibat kurang baik.

Kehangatan komunikasi antar anggota keluarga akan mewarnai pola pikir penghuninya. Canda tawa antara orang tua dan anak, antara ayah dan ibu adalah wujud kehangatan komunikasi. Ketika rumah sudah kehilangan kehangatan dalam komunikasi. Canda tawa mulai hilang dari lingkungan keluarga, maka bersamaan dengan itu kasih sayang mulai menghilang. Lalu ke mana anak-anak kita mencari kehangatan komunikasi?

Kadang-kadang kesibukan telah melupakan komunikasi yang harmonis dalam rumah tangga. Masing-masing anggota keluarga sudah sibuk dengan urusannya sendiri. Ayah sibuk di kantor dengan tugas yang menumpuk di meja. Tahu-tahu di rumah, wajah ayah sudah membawa beban yang luar biasa. Begitu juga ibu sibuk dengan tugasnya sendiri. Lalu ke mana anak-anak bisa mengadu?

Pada saat seperti itu, si anak sudah mulai kehilangan figur yang paling dicintai, yaitu oang tua, ayah dan ibu. Saat itu pula orang tua sudah mencari alternatif, yang paling mudah adalah pembantu. Dengan pembantu, orang tua sudah merasa aman karena anak sudah ada yang menjaganya.

Bagaimanapun cinta dan kasih sayang pembantu tak ada bandingnya dengan cinta orang tua. Meskipun katakanlah si pembantu adalah pembantu terbaik, tetapi tetap saja tidak bisa menggantikan posisi orang tua. Peran pembantu dalam hal ini hanya meringankan beban orang tua dalam urusan tertentu. Namun perlu diketahui, untuk urusan pendidikan anak, peran orang tua belum bisa digantikan oleh pembantu. Jika orang tua memaksakan kehendak maka suatu saat akan terjadi perilaku yang dapat merugikan orang tua sendiri.

Ketika orang tua sudah mengambil alih fungsi dan peran orang tua dalam pengasuhan anak, pendidikan anak, hal ini akan menjadi bermasalah. Apalagi jika suatu saat anak sudh tidak lagi mempedulikan orang tua. Apa mau orang tua, anak tidak mau tahu, maka ini awal dari persoalan yang perlu dipertanyakan. Anak sudah lebih dekat dengan pembantu. Anak lebih cenderung mengikuti perilaku pembantu yang memberi kasih sayang lebih dibanding dengan orang tua sendiri.

Sekali lagi, orang tua adalah pemilik kasih sayang dan cinta bagi anak. Apapun alasannya, anak tetap tidak suka jika diabaikan oleh orang tua. Kesibukan orang tua tidak harus memutuskan komunikasi dengan anak. Komunikasi menjadi kata kunci bentuk kasih sayang dan cinta. Jika komunikasi dilandasi oleh rasa cinta dn kasih sayang, maka akan terbangun kehangatan, meskipun jarak agak berjauhan. Inilah yang perlu diperhatikan adalah membangun cinta dan kasih sayang dalam rumah.

Pendidikan Karakter Perlu Dikokohkan

Akhir bulan April telah dilaksanakan ujian nasional (UN). Ujian yang menjadi penentu kelulusan untuk siswa SMP dan SMA. Ujian inilah yang membuat kebanyakan orang tua ikut spot jantung. Bagaimana tidak, sekolah yang lamanya tiga tahun, harus ditentukan dalam empat atau lima hari. Anak yang tiga tahun di lembaga formal, jika tidak lulus harus berijazah nonformal. Ini sebuah kenyataan dalam dunia pendidikan.

Banyak cara yang dilakukan oleh guru maupun orang tua agar hasil ujiannya bisa lulus. Kegiatan bimbingan belajar yang tak henti-henti, try out berkali-kali, Bahkan ada pula yang menggunakan cara-cara tak terpuji. Misalnya dengan melakukan kecurangan yang sistematis, mulai dari kerja sama antar siswa sampai ada juga yang membuat tim sukses. Lebih mengerikan lagi di sebuah harian pagi ada orang tua dengan anaknya membeli soal. Begitu juga ada kepala sekolah mencuri soal. Semua dilakukan untuk mencapai kelulusan yang sempurna. Inikah yang diharapkan di dalam proses pendidikan di sekolah.

Di tengah hiruk pikuk problem amoral dan kekerasan remaja saat ini, sudah saatnya pendidikan kita berorientasi pada pembentukan karakter. Yaitu pendidikan yang dasar pemikirannya bertumpu pada nilai-nilai moral-spiritual. Pendidikan yang menjadikan anak sebagi subyek dan bukan obyek. Memang saat ini banyak yang berdalih bahwa apa yang dilakukan oleh orang tua dan guru adalah demi kepentingan anak-anak. Namun kenyataannya banyak yang bergeser menjadi "demi kepentingan sekolah dan orang tua" sehingga harus mengorbanka nilai-nilai moral-Spiritual.

Sekolah dan orang tua jangan sampai terjebak oleh sistem pendidikan saat ini. Unas hanyalah sebuah bentuk kebijakan pemerintah yang perlu direpon dengan baik tanpa harus mengorbankan nilai-nilai kejujuran, keteguhan, kegigihan, dan lainnya. Dengan model ujian smacam ini, secara psikologis anak-anak tertekan. Tidak heran jika banyak berita stres massal, kesurupan massal, dan perilaku kejiwaan lainnya. Semua itu muncul dari sebuah tekanan yang berlebihan yang muncul dari sekolah dan orang tua.
Sebenarnya pendidikan itu memiliki tujuan yang sangat mulia. Pendidikan itu merupakan pembentukan karakter yang terwujud dalam kesatuan esensial si subyek didik dengan perilaku dan sikap hidup yang dimilikinya. Karakter menjadi identitas yang mengatasi pengalaman seseorang. Dari kematangan karakter inilah, kualitas seorang pribadi diukur.
Pendidikan merupakan usaha sistematis dengan penuh kasih sayang untuk membangun peradaban bangsa. Pendidikan menjadi bermakna jika semua yang terkait memahami hakekat pendidikan itu sendiri. Banyak orang yang mengatasnamakan pendidikan tetapi justru melakukan penyimpangan dan gagal dalam menjalankan komitmen pendidikan. Mereka melihat pendidikan dalam rangka mengejar sukses materi tanpa disertai pemaknaan yang dalam. Pendidikan hanya sempit dengan berujung pada materi keduniaan, yaitu jabatan dan kekuasaan. Hingga tidak jarang orang yang menitipkan harga dirinya pada jabatan dan materi yang ada, namun nilai-nilai kepribadiannya rapuh.
Manusia sudah mulai gampang terombang-ambingkan situasi. Apapun yang dilakukan hanya untuk kepentingan sesaat, yang penting tujuan bisa tercapai. Idealisme luntur seketika oleh pengaruh yang menyeret pada kehidupan dunia yang menjanjikan. Tak peduli itu hanya sekedar fatamorgana atau apapun namanya. Pendidikan kita sudah mulai kehilangan karakter yang sesungguhnya.
Pendidikan yang sehat adalah yang secara sadar membantu anak didik bisa merasakan, menghayati, dan menghargai jenjang makna hidup dari yang bersifat fisikal sampai yang moral, estetikal, dan spiritual. Peradaban dunia selalu dibangun oleh tokoh-tokoh moral-spiritual, yang dihancurkan politisi dan teknokrat yang mabuk kekuasaan. Jika sistem pendidikan sudah mulai meninggalkan karakter, maka tidak menutup kemungkinan bahwa anak-anak kita yang sekarang masih duduk di bangku sekolah akan menjadi manusi sukses dengan harus menghilangkan kepribadian sebagai manusia yang bermartabat.
Tujuan pendidikan pada dasarnya adalah untuk pembentukan karakter yang terwujud dalam kesatuan esensial si subyek dengan perilaku dan sikap hidup yang dimilikinya. Karakter merupakan sesuatu yang mengualifikasi seorang pribadi. Karakter menjadi identitas yang mengatasi pengalaman seseorang yang selalu berubah. Dari kematangan karakter inilah, kualitas seorang pribadi diukur.
Pendidikan yang ada saat ini sudah mulai terjadi pergeseran. Karakter bukan lagi menjadi perbincangan yang serius dalam menata generasi ke depan. Karakter seolah-olah hanyalah menjadi pelengkap dan lipstik. Fokus utama yang menjadi bahan perbincangan adalah hasil akademik. Meskipun menjadi perdebatan pro-kontra, tetapi inilah yang sekarang menjadi perbincangan hangat.
Al-Qur’an mengingatkan kepada kita bahwa manusia memiliki karakter pembawaan. Kalau tidak baik yang jahat. Hal itu telah tertuang di dalam firman Allah SWT surat As-Sams: 8-10. "Maka Dia (Allah) mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kejahatan dan ketakwaan. Sungguh beruntung orang-orang yang menyucikan dirinya. Dan sungguh merugilah orang-orang yang mengotorinya."

Peringatan Allah ini mestinya kita perhatikan bersama. Bukankah anak-anak kita sejak lahir sudah membawa kecenderungan untuk selalu membawa nilai-nilai kebenaran, selalu mengilahkan Allah sejak di dalam kendungan. Namun begitu lahir ke dunia, lingkungan telah membentuknya. Sekolah jangan sampai kehilangan pendidikan karakter. Tentunya ini harus di dukung dengan orang tua. Relakah jika anak-anak kita menjadi pembohong, pendusta, dan melakukan tindakan tak terpuji demi tujuan sesaat yang belum tentu bisa menjamin kesuksesan anak-anak di dunia apalagi di akhirat.